Senin, 05 Maret 2018

RESTRAIN KIMIA DAN FISIK PADA BABI



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ilmu bedah merupakan bagian dari terapi untuk menyembuhkan gangguan dengan menggunakan alat. Dalam kedokteran ilmu bedah berkaitan dengan pengobatan penyakit atau luka dengan jalan operasi (pembedahan). Prosedur dalam kedokteran yang melibatkan pemotongan jaringan pasien atau penutupan luka secara berkelanjutan maka dianggap sebagai bidang ilmu bedah.
Dalam pembedahan atau operasi kita memerlukan tindakan restrain (handling) terlebih dahulu, guna menenangkan hewan tersebut serta tidak melukai handler dalam hal ini dokter hewan maupun hewan itu sendiri. Restrain dapat dilakukan dengan dua metode yaitu restrain fisik dan restrain kimia. Restrain fisik biasanya dilakukan ketika babi masih dalam jangkuan pengendalian handler. Restrain fisik biasanya dilakukan dengan beberapa cara seperti, mengalihkan perhatian, perangkap, mengikat dengan tali, psycal barrier, kekuatan fisik.
Namun terkadang tindakan medis yang menyakitkan seperti pembedahan (operasi) yang melibatkan organ dalam maupun pembedahan tulang (ortopedi) tidak memungkin jika hanya menggunakan restrain fisik. Tindakan medis yang menyakitkan cukup berbahaya bagi hewan itu sendiri maupun dokter hewan yang menanganinya.
Oleh karena itulah kita menggunakan bantuan restarain kimia. Restrain kimia dapat dilakukan dengan agen farmakologis seperti pemberian obat-obatan acepromazine, medetomidine, xylazine, morphin dan lain lain.






1.2 RUMUSAN MASALAH


1.      Bagaimana restrain fisik pada babi?
2.      Bagaimana restrain kimia pada babi?

1.3 TUJUAN

Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai cara mengendalikan babi agar tidak menimbulkan kerugian seperti kecelakaan ketika sedang menangani hewan pada babi khususnya.


1.4 MANFAAT
Melalui paper ini diharapkan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana khususnya memiliki wawasan lebih mengenai cara melakukan restrain pada babi. Hasil tugas ini dapat menjadi arsip dan dapat membantu mengerjakan tugas yang berhubungan dengan restrain pada babi.












BAB 2
PEMBAHASAN
2.1       RESTRAIN FISIK PADA BABI
Animal restraint atau pengendalian hewan adalah proses pencegahan suatu aksi atau gerakan yang mencakup pencegahan gerakan dengan kekuatan moral atau fisik. Physical restraint adalah pengendalian hewan dengan memakai tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan beberapa cara :
2.1.1             Mengalihkan perhatian
Untuk mempermudah pengendalian hewan maka perhatian hewan harus kita alihkan , sehingga hewan akan terlena dengan cara :
·         Memberikan makanan
·         Memanggil nama si hewan
·         Suara-suara yang menarik perhatian
·         Suatu alat permainan

2.1.2             Perangkap/confinement
            Perangkap dibuat dengan sedemikian rupa, sehingga jika hewan telah terperangkap kedalam dengan sendirinya perangkap akan menutup. Biasanya didalam perangkap diberikan makanan kesukaan hewan tersebut. Perangkap ini digunakan untuk hewan hewan yang akan dipindahkan tanpa pemeriksaan langsung. Alat ini aman dan tidak membuat hewan setres
2.1.3             Mengikat tali / rope work
Tali adaah salah satu alat untuk mengendalikan hewan yang paling tepat. Tali bisa berasal dari serabut kulit pohon, kapas, kulit hewan, rambut/bulu,  sutera dan serabut sintetis, tali ini bias di anyam sedemikian rupa untuk menjaring mangsanya.

2.1.4             Rintangan fisik / fisikan barrier
Rintangan fisik dapat digunakan untuk melindungi ( tangkai pelindung) atau tangkai penutup yang terdekat  tanpa membahayakan. Ringtangan ini bias berupa plastic atau papan kayu dan papan kayu ini biasanya digunakan untuk menggiring binatang

2.1.5             Kekuatan fisik / physical force
Pengendalian hewan melalui kekuatan fisik  ini yang paling penting adalah menggunakan tangan baik tanpa alat ataupun dengan bantuan alat elektrosockher. Sebelum menghandle sebaiknya menggunakan sarung tangan dari katun ( cotton glove) untuk pengerat kecil. Kulit kasar ( coarse leather glove ) untuk jenis primata, burung dan binatang penggigit lainnya.
2.1.6             Physical restraint swine
·                Risiko zoonosis meliputi leptospirosis, demam Q, brucellosis,  melioidosis dan tuberkulosis.
·                Babi liar dapat bereaksi cepat dan tidak dapat diprediksi dan mampu menyebabkan cedera yang signifikan. Babi dewasa memiliki gigi yang tajam dan rahang yang kuat dan bisa menimbulkan luka serius pada orang yang tidak waspada. Mereka bisa melakukan serangan terutama saat terpojok.
·                Babi dewasa perlu dikontrol secara kimia untuk mengurangi tekanan pada hewan dan risiko cedera pada pawang.
·                Anak babi dapat ditangani tanpa pengekangan kimia. Mereka harus dipegang dengan menopang tubuh di bawah dada.
Babi dapat dikendalikan dengan beberapa metode (A) metode Penangkapan
a)      Menggali ekor: tangkap babi di antara penghalang padat untuk membatasi pergerakan babi. Tangkap yang besar di antara babi dengan tali penangkap babi. Dianjurkan untuk menangani babi muda dengan hati-hati agar tidak menyebabkan dislokasi tulang.
b)      Perangkap atau kurungan Babi individu dapat dikurung dan dibatasi secara selektif dengan penggunaan tali yang efektif.
c)      Pig Catcher :  Tangkap kaki belakang di penjepit penangkap babi dan tarik tali untuk menahannya, kencangkan di sekitar kaki.
d)     Gunakan Bucket Pindahkan babi besar yang menutupi wajahnya dengan ember dan gerakkan ke arah sebaliknya.

Gambar 1:
Memindahkan Babi besar dengan Wajah ditutupi Dengan ember atau selimut.

Gambar 2 :
Menangkap seekor babi besar dengan menggunakan tali

Gambar 3
Mengendalikan anak babi dengan hati hati
2.2       RESTRAIN KIMIA PADA BABI
            Restrain Kimia atau Chemical Restraint adalah pengendalian yang dilakukan pada hewan dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Tujuan pengendalian terhadap hewan dengan menggunakan bahan kimia adalah untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat kesadaran hewan dalam jangka waktu sementara yaitu mulai dari hewan tertidur sampai terbius. Ada beberapa bahan kimia dan beberapa tipe cara dalam menggunakannya.
2.2.1             Pemberian secara intravena
Bahan yang digunakan yaitu alpha chloralos, pentobarbital sodium, thiopental sodium, dan thiamylal sodium. Alpha chloralos dengan dosis 55-86 mg/kgBB dapat diberikan tunggal atau bersama dengan morphine dn atau obat preanestetik lainnya jika refleks baroreseptor dan kemoreseptor dipertahankan.
Pemberian pentobarbital sodium umum digunakan pada babi dengan dosis 20-30 mg/kgBB dalam larutan 4-6%. Pemberian preanestetik ketamine 20 mg/kgBB secara intramuskuler akan mempermudah pemberian dan sekaligus menurunkan dosis pentobarbital. Pentobarbital sodium dengan dosis 8-11 mg/kgBB dapat digunakan sebelum induksi, instubasi dan maintenance anestesi dengan halotane.
Pemberian thiopental atau thiamydal sodium dengan dosis 2,5-5% adalah cara yang paling baik untuk membuat periode anestesi singkat. Pemberian preanestetik acepromazine maleate 0,5mg/kgBB dan atau ketamine 20mg/kgBB secara intramuskular dapat mempermudah pemberian thiobarbiturate berikutnya. Pemberian thiopental atau thiamydal 10-15 mg/kgBB cukup untuk dosis awal pada babi ukuran kecil hingga sedang. Recovery dapat terjadi dalam waktu 10-20 menit. Pemberian thiobarbiturate secara infus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan saturasi jaringan, penundaan recovery dan depresi kardiopulmonum.
2.2.2             Pemberian secara intraperitoneal
Bahan kimia yang dapat digunakan adalah pentobarbital dapat digunakan secara intraperitoneal dengan atau tanpa premedikasi untuk babi berukuran kecil atau babi yang venanya rusak. Dosis sulit untuk dimonitor namun pada umumnya sekitar 25-35mg/kgBB
2.2.3             Pemberian secara intramuskular atau intravena
Bahan kimia yang dapat digunakan adalah acepromazine, hydrochloride, diapezam, chlorpromazine hydrochloride, promazine hydrochloride, droperidol dan fentanyl. Acepromazine 0,05-0,1mg/kgBB, chlorpromazine 0,5-2,5mg/kgBB atau promazine 1-2mg/kgBB secara intramuskuler dengan atau tanpa atrophine sulfate dan atau meperidrine dianjurkan untuk restrain sebelum pemberian obat-obatan yang lain. Kombinasi acepromazine 1,5mg/kgBB intramuskular, meperidine 4mg/kgBB intramuskular tidak seefektif thiopental yang diberikan intravena sebelum anestesi halothane.       
Chlorpromazine 2-2,5mg/kgBB intramuskular, atrophine sulfate 0,2mg/kgBB subkutan dan pentobarbital 10-20mg/kgBB intravena berguna pada intubasi dan maintenance selanjutnya dengan cyclopropane.
Droperidol dan fentanyl 1ml/10-15mg/kgBB intramuskular dipakai untuk berbagai tujuan namun umumnya disertai ataksia, stimulasi sistem saraf pusat dan menjerit. Penggunaan atrophine sulfate 0,04mg/kgBB intramuskular, droperidol dan fentanyl 1ml/13,6kgBB intramuskular dapat menghasilkan anestesi yang memuaskan.
2.2.4             Pemberian secara intramuskular atau subkutan
Atrophine sulfat 0,04-0,40mg/kgBB akan membantu mengurangi sekresi tapi berpengaruh pada fungsi parasimpatomimetik dan dapat menghasilkan aritmia. Dosis 0,04mg/kgBB diberikan sebelum pemberian ketamine atau halothane akan tetapi hal ini masih kontroversi. Atrophine 0,1mg/kgBB dikombinasikan dengan meperidine 2mg/kgBB dan promazine 2mg/kgBB untuk premedikasi pada babi. Yang harus diingat adalah ukuran jantung babi yang relatif kecil dapat menambah stres akibat anestesi.

















BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN



















DAFTAR PUSTAKA
Sardjana, I Km Wiarsa, Diah Kusumawati. 2004. “Anestesi Veteriner Jilid 1”. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta hlm : 112-114

RES002 Restraint and handling of pest animals used in research
Page 2 of 17 Date of Issue: 21/02/2007 
National Agricultural Extension and Research Liaison Services, Ahmadu
 Bello University P. M. B. 1067, Zaria. July 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PREMEDIKASI DAN ANESTESI VETERINER

RINGKASAN Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasi...