BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ilmu bedah merupakan bagian dari terapi
untuk menyembuhkan gangguan dengan menggunakan alat. Dalam kedokteran ilmu
bedah berkaitan dengan pengobatan penyakit atau luka dengan jalan operasi
(pembedahan). Prosedur dalam kedokteran yang melibatkan pemotongan jaringan
pasien atau penutupan luka secara berkelanjutan maka dianggap sebagai bidang
ilmu bedah.
Dalam pembedahan atau operasi kita
memerlukan tindakan restrain (handling) terlebih dahulu, guna menenangkan hewan
tersebut serta tidak melukai handler dalam hal ini dokter hewan maupun hewan
itu sendiri. Restrain dapat dilakukan dengan dua metode yaitu restrain fisik
dan restrain kimia. Restrain fisik biasanya dilakukan ketika babi masih dalam
jangkuan pengendalian handler. Restrain fisik biasanya dilakukan dengan
beberapa cara seperti, mengalihkan perhatian, perangkap, mengikat dengan tali,
psycal barrier, kekuatan fisik.
Namun terkadang tindakan medis yang
menyakitkan seperti pembedahan (operasi) yang melibatkan organ dalam maupun
pembedahan tulang (ortopedi) tidak memungkin jika hanya menggunakan restrain
fisik. Tindakan medis yang menyakitkan cukup berbahaya bagi hewan itu sendiri
maupun dokter hewan yang menanganinya.
Oleh karena itulah kita menggunakan
bantuan restarain kimia. Restrain kimia dapat dilakukan dengan agen
farmakologis seperti pemberian obat-obatan acepromazine, medetomidine,
xylazine, morphin dan lain lain.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
restrain fisik pada babi?
2.
Bagaimana restrain kimia pada babi?
1.3 TUJUAN
Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai cara mengendalikan babi agar tidak menimbulkan kerugian seperti kecelakaan ketika sedang menangani hewan pada babi khususnya.
1.4 MANFAAT
Melalui
paper ini diharapkan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
khususnya memiliki wawasan lebih mengenai cara melakukan restrain pada babi. Hasil
tugas ini dapat menjadi arsip dan dapat membantu mengerjakan tugas yang
berhubungan dengan restrain pada
babi.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 RESTRAIN
FISIK PADA BABI
Animal restraint atau pengendalian
hewan adalah proses pencegahan suatu aksi atau gerakan yang mencakup pencegahan
gerakan dengan kekuatan moral atau fisik. Physical restraint adalah
pengendalian hewan dengan memakai tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian
dengan cara ini dapat dilakukan dengan beberapa cara :
2.1.1
Mengalihkan perhatian
Untuk mempermudah pengendalian hewan maka perhatian
hewan harus kita alihkan , sehingga hewan akan terlena dengan cara :
·
Memberikan makanan
·
Memanggil nama si hewan
·
Suara-suara yang menarik perhatian
·
Suatu alat permainan
2.1.2
Perangkap/confinement
Perangkap
dibuat dengan sedemikian rupa, sehingga jika hewan telah terperangkap kedalam dengan
sendirinya perangkap akan menutup. Biasanya didalam perangkap diberikan makanan
kesukaan hewan tersebut. Perangkap ini digunakan untuk hewan hewan yang akan
dipindahkan tanpa pemeriksaan langsung. Alat ini aman dan tidak membuat hewan
setres
2.1.3
Mengikat tali / rope work
Tali adaah salah satu alat untuk
mengendalikan hewan yang paling tepat. Tali bisa berasal dari serabut kulit
pohon, kapas, kulit hewan, rambut/bulu,
sutera dan serabut sintetis, tali ini bias di anyam sedemikian rupa
untuk menjaring mangsanya.
2.1.4
Rintangan fisik / fisikan barrier
Rintangan fisik
dapat digunakan untuk melindungi ( tangkai pelindung) atau tangkai penutup yang
terdekat tanpa membahayakan. Ringtangan
ini bias berupa plastic atau papan kayu dan papan kayu ini biasanya digunakan
untuk menggiring binatang
2.1.5
Kekuatan fisik / physical force
Pengendalian hewan melalui kekuatan
fisik ini yang paling penting adalah
menggunakan tangan baik tanpa alat ataupun dengan bantuan alat elektrosockher. Sebelum
menghandle sebaiknya menggunakan sarung tangan dari katun ( cotton glove) untuk
pengerat kecil. Kulit kasar ( coarse leather glove ) untuk jenis primata, burung
dan binatang penggigit lainnya.
2.1.6
Physical restraint swine
·
Risiko zoonosis meliputi leptospirosis,
demam Q, brucellosis, melioidosis dan
tuberkulosis.
·
Babi liar dapat bereaksi cepat dan tidak
dapat diprediksi dan mampu menyebabkan cedera yang signifikan. Babi dewasa
memiliki gigi yang tajam dan rahang yang kuat dan bisa menimbulkan luka serius
pada orang yang tidak waspada. Mereka bisa melakukan serangan terutama saat
terpojok.
·
Babi dewasa perlu dikontrol secara kimia
untuk mengurangi tekanan pada hewan dan risiko cedera pada pawang.
·
Anak babi dapat ditangani tanpa
pengekangan kimia. Mereka harus dipegang dengan menopang tubuh di bawah dada.
Babi dapat dikendalikan dengan beberapa metode (A)
metode Penangkapan
a) Menggali
ekor: tangkap babi di antara penghalang padat untuk membatasi pergerakan babi.
Tangkap yang besar di antara babi dengan tali penangkap babi. Dianjurkan untuk
menangani babi muda dengan hati-hati agar tidak menyebabkan dislokasi tulang.
b) Perangkap
atau kurungan Babi individu dapat dikurung dan dibatasi secara selektif dengan
penggunaan tali yang efektif.
c) Pig
Catcher : Tangkap kaki belakang di
penjepit penangkap babi dan tarik tali untuk menahannya, kencangkan di sekitar
kaki.
d) Gunakan
Bucket Pindahkan babi besar yang menutupi wajahnya dengan ember dan gerakkan ke
arah sebaliknya.
Gambar
1:
Memindahkan Babi besar dengan Wajah ditutupi Dengan ember atau selimut.
Memindahkan Babi besar dengan Wajah ditutupi Dengan ember atau selimut.
Gambar
2 :
Menangkap
seekor babi besar dengan menggunakan tali
Gambar
3
Mengendalikan
anak babi dengan hati hati
2.2 RESTRAIN KIMIA PADA BABI
Restrain
Kimia atau Chemical Restraint adalah pengendalian yang dilakukan pada hewan
dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Tujuan pengendalian terhadap hewan dengan
menggunakan bahan kimia adalah untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat
kesadaran hewan dalam jangka waktu sementara yaitu mulai dari hewan tertidur
sampai terbius. Ada beberapa bahan kimia dan beberapa tipe cara dalam
menggunakannya.
2.2.1
Pemberian secara intravena
Bahan yang digunakan yaitu alpha
chloralos, pentobarbital sodium, thiopental sodium, dan thiamylal sodium. Alpha
chloralos dengan dosis 55-86 mg/kgBB dapat diberikan tunggal atau bersama
dengan morphine dn atau obat preanestetik lainnya jika refleks baroreseptor dan
kemoreseptor dipertahankan.
Pemberian pentobarbital sodium umum
digunakan pada babi dengan dosis 20-30 mg/kgBB dalam larutan 4-6%. Pemberian
preanestetik ketamine 20 mg/kgBB secara intramuskuler akan mempermudah
pemberian dan sekaligus menurunkan dosis pentobarbital. Pentobarbital sodium
dengan dosis 8-11 mg/kgBB dapat digunakan sebelum induksi, instubasi dan maintenance anestesi dengan halotane.
Pemberian thiopental atau thiamydal
sodium dengan dosis 2,5-5% adalah cara yang paling baik untuk membuat periode
anestesi singkat. Pemberian preanestetik acepromazine maleate 0,5mg/kgBB dan
atau ketamine 20mg/kgBB secara intramuskular dapat mempermudah pemberian
thiobarbiturate berikutnya. Pemberian thiopental atau thiamydal 10-15 mg/kgBB
cukup untuk dosis awal pada babi ukuran kecil hingga sedang. Recovery dapat
terjadi dalam waktu 10-20 menit. Pemberian thiobarbiturate secara infus dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan saturasi jaringan, penundaan recovery dan depresi kardiopulmonum.
2.2.2
Pemberian secara intraperitoneal
Bahan kimia yang dapat digunakan
adalah pentobarbital dapat digunakan secara intraperitoneal dengan atau tanpa
premedikasi untuk babi berukuran kecil atau babi yang venanya rusak. Dosis
sulit untuk dimonitor namun pada umumnya sekitar 25-35mg/kgBB
2.2.3
Pemberian secara intramuskular atau
intravena
Bahan kimia yang dapat digunakan
adalah acepromazine, hydrochloride, diapezam, chlorpromazine hydrochloride,
promazine hydrochloride, droperidol dan fentanyl. Acepromazine 0,05-0,1mg/kgBB,
chlorpromazine 0,5-2,5mg/kgBB atau promazine 1-2mg/kgBB secara intramuskuler
dengan atau tanpa atrophine sulfate dan atau meperidrine dianjurkan untuk
restrain sebelum pemberian obat-obatan yang lain. Kombinasi acepromazine
1,5mg/kgBB intramuskular, meperidine 4mg/kgBB intramuskular tidak seefektif
thiopental yang diberikan intravena sebelum anestesi halothane.
Chlorpromazine 2-2,5mg/kgBB
intramuskular, atrophine sulfate 0,2mg/kgBB subkutan dan pentobarbital
10-20mg/kgBB intravena berguna pada intubasi dan maintenance selanjutnya dengan cyclopropane.
Droperidol dan fentanyl
1ml/10-15mg/kgBB intramuskular dipakai untuk berbagai tujuan namun umumnya
disertai ataksia, stimulasi sistem saraf pusat dan menjerit. Penggunaan
atrophine sulfate 0,04mg/kgBB intramuskular, droperidol dan fentanyl
1ml/13,6kgBB intramuskular dapat menghasilkan anestesi yang memuaskan.
2.2.4
Pemberian secara intramuskular atau
subkutan
Atrophine sulfat 0,04-0,40mg/kgBB
akan membantu mengurangi sekresi tapi berpengaruh pada fungsi
parasimpatomimetik dan dapat menghasilkan aritmia. Dosis 0,04mg/kgBB diberikan
sebelum pemberian ketamine atau halothane akan tetapi hal ini masih
kontroversi. Atrophine 0,1mg/kgBB dikombinasikan dengan meperidine 2mg/kgBB dan
promazine 2mg/kgBB untuk premedikasi pada babi. Yang harus diingat adalah
ukuran jantung babi yang relatif kecil dapat menambah stres akibat anestesi.
BAB
3
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
3.2
SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
Sardjana, I Km
Wiarsa, Diah Kusumawati. 2004. “Anestesi Veteriner
Jilid 1”. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta hlm : 112-114
RES002
Restraint and handling of pest animals used in research
Page 2 of
17 Date of Issue: 21/02/2007
National
Agricultural Extension and Research Liaison Services, Ahmadu
Bello University P. M. B. 1067, Zaria. July
2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar