RADANG PLEURA (PLEURITIS)
RADANG
PLEURA (PLEURITIS)
Pleuritis / radang pleura (Pleurisy/Pleurisis/ Pleuritic chest pain) adalah
suatu peradangan pada pleura (selaput yang menyelubungi permukaan paru-paru).
Radang pleura dapat berlagsung secara subakut, akut atau kronois, dengan
ditandai perubahan proses pernafasan yang intensitasnya tergantung pada
beratnya proses radang. Pada yang berlangsung subakut proses radang biasanya bersamaan
dengan empiema serta mengakibatkan layuhnya sebagian paru-paru, hingga
pernafasan akan mengalami kesulitan (dispnoea). Biasanya pernafasan bersifat
cepat dan dangkal. Pada proses yang berlangsung akut, penderita mengalami
kesakitan waktu bernafas hingga pernafasan jadi dangkal, cepat serta bersifat
abdominal. Yang berlangsung kronis, pada waktu istirahat tidak tampak adanya
perubahan pada proses pernafasannya. Bila disertai dengan penimbunan cairan di
rongga pleura maka disebut efusi pleura tetapi bila tidak terjadi penimbunan
cairan di rongga pleura, maka disebut pleurisi kering. Setelah terjadi
peradangan, pleura bisa kembali normal atau terjadi perlengketan.
Pleuritis kronis (CP) berkembang dari pleuro-Pneumonia adalah temuan umum
pada hewan potong (Christensen & Enø 1999), dan CP terletak di bagian
dorso-caudal paru-paru dianggap sangat sugestif dari lesi pleuropneumonic
sebelumnya (Sørensen et al 2006). Pada tahun 1998, sekitar 27% dari babi yang
disembelih di Denmark memiliki CP pada bagian dorso-caudal paru-paru
(Christensen & Enø 1999).Terjadinya CP telah ditemukan sebagai berhubungan
dengan manajemen dan karakteristik kawanan (Mousing et al 1990;
Cleveland-Nielsen et al 2002.; Enøe et al. 2002), dan prevalensi lesi dapat
dikurangi dengan mengambil tindakan pencegahan.
ETIOLOGI
Pada
anjing dan kucing, bakteri (seperti Nocardia, Actinomyces, dan Bacteroides)
dapat menyebabkan pleuritis pirogranulomatosa, dan banyak spesies bakteri dapat
hadir sebagai infeksi tunggal atau campuran pada pyothorax pada anjing dan
kucing. Telah diketahui bahwa luka serosal persisten seperti pleuritis kronis
menginduksi hiperplasia mesothelial. Selain itu, stimulus yang tepat termasuk
peradangan mengubah sel mesothelial normal menjadi tumor mesothelium aktif,
yang merupakan pertumbuhan cuboidal dan papiler. (Yamada Naoaki et al.2013). Pleuritis
pirogranulomatosa ditandai
dengan adanya darah dan
nanah pada rongga thoraks. Eksudat ini biasanya
mengandung bintik kekuningan yang disebut butiran belerang. Meskipun ini tidak seperti biasanya di
nocardial empyema pada kucing banyak jenis bakteri seperti, Escherichia coli,
Arcanobacterium pyogenes, Pasteurella multocida, dan Fusobacterium necrophorum,
dapat ditemukan dalam pyotorax pada anjing dan kucing. Bakteri ini terjadi
sendiri atau pada infeksi campuran. (Zachary J.F et al. 2012)
Sumber : Zachary
J.F et al. 2012
Pada sapi
pleuritis dapat bersifat primer maupun sekunder. Pleuritis pada sapi yang
bersifat primer terjadi karena tertembusnya dinding retikulum oleh benda asing,
hingga akan terjadi retikulitis, peritonitis, phrenitis, dan pleuritis. Radang
yang bersifat sekunder, terjadi pada sapi yang menderita radang paru-paru yang
melanjut, pleuropneumonia (yang disebabkan oleh Mycoplasma mycoides var.
mycoides), tuberkulosis, maupun radang paru-paru karena organisme pasteurela.
Pleuritis paling sering disebabkan oleh bakteri, yang menyebabkan polyserositis
mencapai pleura hematogen. Bakteri ini termasuk Haemophilus parasuis (penyakit
Glasser), Streptococcus suis tipe II, dan beberapa strain Pasteurella multocida
pada babi; Streptococcus equi ssp. Equi dan Streptococcus zooepidemicus ssp.
zooepidemicus pada kuda; Escherichia coli pada anak sapi; Mycoplasma spp. dan
Haemophilus spp. pada domba dan kambing. Kontaminasi permukaan pleura bisa jadi
hasil perluasan proses septik (misalnya luka tusukan dari dinding toraks dan
pada reticulopericarditis traumatis sapi). (Zachary J.F et al. 2012)
Pleuritis paling sering
disebabkan oleh bakteri, yang menyebabkan polyserositis mencapai pleura
hematogen. Bakteri ini termasuk Haemophilus parasuis (penyakit Glasser),
Streptococcus suis tipe II, dan beberapa strain Pasteurella multocida pada
babi; Streptococcus equi ssp. Equi dan Streptococcus zooepidemicus ssp.
zooepidemicus pada kuda; Escherichia coli pada anak sapi; Mycoplasma spp. dan
Haemophilus spp. pada domba dan kambing. Kontaminasi permukaan pleura bisa jadi
hasil perluasan proses septik (misalnya luka tusukan dari dinding toraks dan
pada reticulopericarditis traumatis sapi). (Zachary J.F et al. 2012)
Pleuritis
dapat disebabkan oleh apa saja dari kondisi-kondisi berikut:
·
Infeksi-Infeksi: bakteri-bakteri (termasuk yang
menyebabkan tuberculosis), jamur-jamnur, parasit-parasit, atau virus-virus
·
Kimia-Kimia Yang Terhisap Atau Senyawa-Senyawa
Beracun: paparan pada beberapa agen-agen perbersih seperti ammonia
·
Penyakit-Penyakit Vaskular Kolagen: lupus, rheumatoid
arthritis.
·
Kanker-Kanker: contohnya, penyebaran dari kanker paru
atau kanker payudara ke Pleura.
·
Tumor-Tumor Dari Pleura: mesothelioma atau sarcoma
·
Kemacetan: gagal jantung
·
Pulmonary embolism: bekuan darah didalam
pembuluh-pembuluh darah ke paruparu.
·
Bekuan-bekuan ini adakalanya dengan parah mengurangi
darah dan oksigen ke bagian-bagian dari paru dan dapat berakibat pada kematian
pada bagian itu dari jaringan paru (diistilahkan lung infarction). Ini juga
dapat menyebabkan pleurisy.
·
Rintangan dari Kanal-Kanal Limfa: sebagai akibat dari
tumor-tumor paru yang berlokasi secara central
·
Trauma: patah-patahan rusuk atau iritasi dari
tabung-tabung dada yang digunakan untuk mengalirkan udara atau cairan dari
rongga pleural pada dada
·
Obat-Obat Tertentu: obat-obat yang dapat menyebabkan
sindrom-sindrom seperti lupus (seperti Hydralazine, Procan, Dilantin, dan
lain-lainnya)
·
Proses-proses Perut: seperti pankreatitis, sirosis
hati
·
Lung infarction: kematian jaringan paru yang
disebabkan oleh kekurangan
oksigen dari suplai darah yang buruk
PATOGENESIS
Adanya radang pleura yang bersifat awal, sebelum terbentuknya cairan
eksudasi radang, kedua lapisan pleura, yaitu pleura parietalis dan visceralis,
saling bergesekan oleh karena keduanya mengalami penebalan. Gesekan antara
keduanya akan menimbulkan suara friksi dalam pemeriksaan auskultasi. Pada
proses yang berlangsung akut, rasa sakit terjadi sebagai akibat meningkatnya
kepekaan syaraf sensoris pada pleura yang mengalami radang. Hal tersebut
menyebabkan kurang leluasanya pengembangan dinding dada, hingga pernafasan
lebih banyak dilakukan oleh otot-otot perut (pernafasan abdominal). Untuk
mengurangi rasa sakit, pernafasan dilakukan dengan cepat dan intensitas yang
dangkal. Oleh adanya cairan yang kemudian terbentuk, sebagai produkradang,
volume rongga pleura berkurang dan tekanan negatif di dalamnya akan berkurang.
Hal terakhir mengakibatkan kemampuan berkembang dari alveoli paru-paru juga
menurun, dan hal tersebut mengakibatkan penderita cepat menjadi lelah meskipun
hanya melakukan kerja fisik yang ringan.
Bagian paru-paru yang tercelup di dalam cairan radang, yang sifatnya
purulen, mukopurulen, atau serosanguineus, akan cepat mengalami disfungsi dan
mengalami atelektasis. Lobus paru-paru yang paling sering menderita atelektasis
adalah lobus ventralis. Dalam keadaan demikian, bagian paru-paru tersebut tidak
lagi berfungsi, dan untuk menutupi kebutuhan oksigen akan diikuti dengan kerja
lebih, sebagai kompensasi, dari jaringa paru-paru yang lain. Jantung yang
tercelup di dalam cairan radang juga akan mengalami degenerasi, hingga gejala
kelemahan jantung juga akan dapat diamati. Kompresi cairan atas jantung,
terutama pada atriumnya, menyebabkan bendungan pada vena-vena yang besar,
antara lain vena jugularis. Bendungan tersebut akan dilihat dari luar dengan
mudah.
Mungkin cairan radang dapat mengalami penyerapan, hingga pleura yang
meradang
menjadi ”kering”. Dalam keadaan demikian biasanya terjadi adesi pada pleura
hingga menyebabkan pertautan paru-paru dengan dinding dada, yang selanjutnya
hal tersebut menyebabkan penurunan kemampuan paru-paru untuk berkembang sesuai
dengan kemampuan normalnya. Gejala-gejala perubahan pernafasan akan segera
tampak bila penderita dikerjakan agak berat. Radang pleura yang disebabkan oleh
kuman hampair selalu diikuti dengan gejala toksemia, yang disebabkan oleh
terbebasnya toksin kuman maupun karena hasil pemecahan reruntuhan jaringan.
GEJALA KLINIS
Gejala radang pada awalnya dimulai dengan ketidaktenangan, kemudian diikuti
dengan pernafasn yang cepat dan dangkal. Dalam keadaan akut, karena rasa sakit
waktu
bernafas
dengan menggunakan otot-otot dada, pernafasan lebih bersifat abdominal. Untuk
mengurangi rasa sakit di daerah dada, bahu penderita nampak direnggangkankeluar
(posisi abduksi). Dalam keadaan seperti itu penderita jadi malas bergerak,
hingga lebih banyak tinggal di kandang atau menyendiri dari kelompoknya.
Kebanyakan penderita mengalami demam, sekitar 40oC.
Dalam pemeriksaan auskultasi terdengar suara friksi karena bergeseknya
kedua pleura. Adanya cairan radang dalam auskultasi akan terdengar suara
perpindahan cairan sesuai dengan irama pernafasan. Dalam pemeriksaan perkusi
terdengar suara pekak, terutama pada bagian bawah daerah perkusi paru-paru.
Bila cairan yang terbentuk cukup banyak, dalam perkusi dapat dikenali adanya daerah
pekak horizontal, yang kadangkadang tingginya mencapai hampir setengah daerah
perkusi. Oleh banyaknya cairan yang terbentuk gejala dispnoea juga menjadi
lebih jelas.
Kekurangan oksigen yang disebabkan
oleh toksemia dan akibat radang paru-paru yang mengikutinya, penderita dapat
mengalami kematian setiap saat. Pada radanag pleura penderita nampak lesu
karena adanya penyerapan toksin (toksemia).
Proses
kesembuhan dapat pula terjadi, meskipun biasanya diikuti dengan adesi pleura.
Penderita demikian tampak normal, tetapi bila dikerjakan sedikit saja segera
menjadi lelah karena turunya kapasitas vital pernafasannya.
Radang pleura kronik, yang mungkin ditemukan pada sapi yang menderita
tuberkulosis, mungkin saja tidak mengakibatkan gejala pernafasan yang berarti.
Kebanyakan penderita radang kronik hanya memperlihatkan kenaikan frekuensi
pernafasannya.
DIAGNOSIS
Penentuan diagnosis radang didasarkan pada ditemukannya suara friksi dalam
pemeriksaan auskultasi, serta adanya cairan radang di daslam rongga pleura. Di
dalam praktek radang pleura hampir selalu ditemukan bersamaan dengan radang
paru-paru hingga terjadi pleuropnemia. Memisahkan kedua gangguan tersebut
dipandang tidak ada gunanya.
Dari emfisema pulmonum, radang pleura dapat dibedakan karena pada yang terakhir
tidak ditemukan suara timpanis dalam pemeriksaan perkusi.
Dari hidrotorak, khilothoraks, dan hemothoraks, radang pleura memiliki
perbedaan
karena padanya biasa disertai kenaikan suhu seluruh tubuh maupun adanya rasa
sakit waktu bernapas, terutama pada proses yang berlangsung akut.
Untuk membedakan penyakit-penyakit tersebut, perlu dilakukan
thoracosentesis. Cairan yang dapat dihisap, dapat digunakan untuk menentukan
perubahan patologis di dalam rongga dada penderita.
PROGNOSIS
Prognosis
radang pleura tidak selalu menggembirakan. Hal tersebut disebabkan
oleh
kesukaran dalam penanganan kasus, yang seharusnya penderita ditempatkan pada
tempat yang hangat, bersih, dan tidak berdebu, serta kesulitan dalam
menghentikan proses radang.
Patologi Anatomi dan Histo Patologi Pleuritis
Sumber: google.com
TERAPI
Penggunaaan antibiotika berspektrum luas atau sediaan sulfonamid sangat
dianjurkan untuk membunuh kuman-kuman penyebab radang infeksi. Obat-obat
tersebut dapat diberikan secara parenteral atau per os, atau gabungan keduanya.
Apabila jumlah cairan di dalam rongga pleura dipandang terlalu mengganggu
pernafasan, cairan radang tersebut perlu dikeluarkan dengan jalan
torakosentesis, dan kemudian ke dalam rongga pleura dimasukkan larutan antibiotika
atau sulfonamid. Karena cairan tersebut biasanya bersifat purulen, mukopurulen,
atau serosanguineus, apalagi di dalam cairan juga terdapat fibrin dan
reruntuhan jaringan, aspirasi cairan radang yang dimaksud tidak selalu mudah
dilakukan.
Untuk mengurangi rasa sakit yang biasanya ditemukan pada stadium akut,
pengobatan dengan analgetika dan transquilizer dapat dipertimbangkan. Apabila
radang juga dapat disertai oleh empisema, pengeluaran nanah secara berkala
dengan jalan torakosentesis, atau dengan drainase yang dipasang semipermanen,
disertai suntikan antibiotika atau sediaan sulfa, dengan sediaan enzim
proteolitik dapat juga dianjurkan.
Sebelum melakukan pengobatan hendaknya benar-benar dipikirkan tentang
keberhasilan pengobatan yang dilakukan. Bila memang tidak banyak memberi
harapan, lebih baik penderita dimanfaatkan karkasnya untuk konsumsi. Selain
memiliki arti ekonomik, pencemaran karkas oleh obat-obatan tidak perlu terjadi.
PENCEGAHAN
Berdasarkan penyebabnya, pleuritis dapat di cegah
dengan cara :
·
Peningkatan daya tahan tubuh hewan, misalnya dengan
diberikan vitamin.
·
Menghindari adanya trauma akibat benda disekitar
kandang atau lingkungan sekitar
·
Sanitasi kandang yang baik dan benar agar pertumbuhan
bakteri dan jamur penyebab pleuritis dapat terkontrol
·
Menghindari adanya zat kimia dan obat-obatan yang
dapat memacu terjadinya pleuritis
Daftar
Pustaka
Blood, D.C.,
Hemderson, J.A dan Radostitis, O.M. 1979. Veterinary Medicine: A
Christensen G.
& Enø C. (1999) Forekomst af forandringer i pluckset af danske slagtesvin.
(The prevalence of pneumonia, pleuritis, pericarditis and liver spots in Danish
slaughter pigs in 1998, including comparation with 1994). Dansk
Veterinærtidsskrift 82, 1006–15.
Cleveland-Nielsen
A., Nielsen E.O. & Ersbøll A.K. (2002) Chronic pleuritis in Danish
slaughter pig herds. Preventive Veterinary Medicine 55, 121–35.
Enøe
C., Mousing J., Schirmer A.L. & Willeberg P. (2002) Infectious and
rearing-system related risk factors for chronic pleuritis in slaughter pigs.
Preventive Veterinary Medicine 54, 337–49
Sara
M. Kass. 2007. American Family Physician. www.aafp.org/afp
Subronto.
1995. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sørensen V., Jorsal S.E. & Mousing J.
(2006) Diseases of the respiratory system. In: Diseases of Swine, 9th edn (Eds
by B.E. Straw, J.J. Zimmerman, S. D
Allaire & D.J. Taylor), pp. 149–77. Blackwell Publishing, Ames, IA.
Mousing J., Lybye H., Barfod K., Meyling
A., Rønsholt L. & Willeberg P. (1990) Chronic pleuritis in pigs for
slaughter: an epidemiological study of infectious and rearing system-related
risk factors. Preventive Veterinary Medicine 9, 107–19.
Textbook
of Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Boatsand Horse. Australia:
University of Melbourne
Watson,
C.J. 1963. Outline of Internal Medicine. Iowa: W.M. C. Brown Company
Publisher.
Yamada Naoaki et al. 2013. Bacterial Pleuritis with Thickened Mesothelial Hyperplasia in a Young Beagle Dog. Journal of Toxicologic Pathology:26(3): 313–317.
Zachary J.F et al. 2012. Pathologic Basis of
Veterinary Disease. China: Elsevier
terimakasih atas tulisannya kak Nurlili, yang bisa saya jadikan referensi untuk belajar interna. Salam vetro!
BalasHapus