Minggu, 01 Oktober 2017

PLEURITIS (Radang Selaput Paru)



ILMU PENYAKIT DALAM
RADANG PLEURA (PLEURITIS)

RADANG PLEURA (PLEURITIS)
Pleuritis / radang pleura (Pleurisy/Pleurisis/ Pleuritic chest pain) adalah suatu peradangan pada pleura (selaput yang menyelubungi permukaan paru-paru).

Radang pleura dapat berlagsung secara subakut, akut atau kronois, dengan ditandai perubahan proses pernafasan yang intensitasnya tergantung pada beratnya proses radang. Pada yang berlangsung subakut proses radang biasanya bersamaan dengan empiema serta mengakibatkan layuhnya sebagian paru-paru, hingga pernafasan akan mengalami kesulitan (dispnoea). Biasanya pernafasan bersifat cepat dan dangkal. Pada proses yang berlangsung akut, penderita mengalami kesakitan waktu bernafas hingga pernafasan jadi dangkal, cepat serta bersifat abdominal. Yang berlangsung kronis, pada waktu istirahat tidak tampak adanya perubahan pada proses pernafasannya. Bila disertai dengan penimbunan cairan di rongga pleura maka disebut efusi pleura tetapi bila tidak terjadi penimbunan cairan di rongga pleura, maka disebut pleurisi kering. Setelah terjadi peradangan, pleura bisa kembali normal atau terjadi perlengketan.
Pleuritis kronis (CP) berkembang dari pleuro-Pneumonia adalah temuan umum pada hewan potong (Christensen & Enø 1999), dan CP terletak di bagian dorso-caudal paru-paru dianggap sangat sugestif dari lesi pleuropneumonic sebelumnya (Sørensen et al 2006). Pada tahun 1998, sekitar 27% dari babi yang disembelih di Denmark memiliki CP pada bagian dorso-caudal paru-paru (Christensen & Enø 1999).Terjadinya CP telah ditemukan sebagai berhubungan dengan manajemen dan karakteristik kawanan (Mousing et al 1990; Cleveland-Nielsen et al 2002.; Enøe et al. 2002), dan prevalensi lesi dapat dikurangi dengan mengambil tindakan pencegahan.

ETIOLOGI
Pada anjing dan kucing, bakteri (seperti Nocardia, Actinomyces, dan Bacteroides) dapat menyebabkan pleuritis pirogranulomatosa, dan banyak spesies bakteri dapat hadir sebagai infeksi tunggal atau campuran pada pyothorax pada anjing dan kucing. Telah diketahui bahwa luka serosal persisten seperti pleuritis kronis menginduksi hiperplasia mesothelial. Selain itu, stimulus yang tepat termasuk peradangan mengubah sel mesothelial normal menjadi tumor mesothelium aktif, yang merupakan pertumbuhan cuboidal dan papiler. (Yamada Naoaki et al.2013). Pleuritis pirogranulomatosa ditandai dengan adanya darah dan nanah pada rongga thoraks. Eksudat ini biasanya mengandung bintik kekuningan yang disebut butiran belerang.  Meskipun ini tidak seperti biasanya di nocardial empyema pada kucing banyak jenis bakteri seperti, Escherichia coli, Arcanobacterium pyogenes, Pasteurella multocida, dan Fusobacterium necrophorum, dapat ditemukan dalam pyotorax pada anjing dan kucing. Bakteri ini terjadi sendiri atau pada infeksi campuran. (Zachary J.F et al. 2012)

Sumber : Zachary J.F et al. 2012
Pada sapi pleuritis dapat bersifat primer maupun sekunder. Pleuritis pada sapi yang bersifat primer terjadi karena tertembusnya dinding retikulum oleh benda asing, hingga akan terjadi retikulitis, peritonitis, phrenitis, dan pleuritis. Radang yang bersifat sekunder, terjadi pada sapi yang menderita radang paru-paru yang melanjut, pleuropneumonia (yang disebabkan oleh Mycoplasma mycoides var. mycoides), tuberkulosis, maupun radang paru-paru karena organisme pasteurela. Pleuritis paling sering disebabkan oleh bakteri, yang menyebabkan polyserositis mencapai pleura hematogen. Bakteri ini termasuk Haemophilus parasuis (penyakit Glasser), Streptococcus suis tipe II, dan beberapa strain Pasteurella multocida pada babi; Streptococcus equi ssp. Equi dan Streptococcus zooepidemicus ssp. zooepidemicus pada kuda; Escherichia coli pada anak sapi; Mycoplasma spp. dan Haemophilus spp. pada domba dan kambing. Kontaminasi permukaan pleura bisa jadi hasil perluasan proses septik (misalnya luka tusukan dari dinding toraks dan pada reticulopericarditis traumatis sapi). (Zachary J.F et al. 2012)
            Pleuritis paling sering disebabkan oleh bakteri, yang menyebabkan polyserositis mencapai pleura hematogen. Bakteri ini termasuk Haemophilus parasuis (penyakit Glasser), Streptococcus suis tipe II, dan beberapa strain Pasteurella multocida pada babi; Streptococcus equi ssp. Equi dan Streptococcus zooepidemicus ssp. zooepidemicus pada kuda; Escherichia coli pada anak sapi; Mycoplasma spp. dan Haemophilus spp. pada domba dan kambing. Kontaminasi permukaan pleura bisa jadi hasil perluasan proses septik (misalnya luka tusukan dari dinding toraks dan pada reticulopericarditis traumatis sapi). (Zachary J.F et al. 2012)
Pleuritis dapat disebabkan oleh apa saja dari kondisi-kondisi berikut:
·            Infeksi-Infeksi: bakteri-bakteri (termasuk yang menyebabkan tuberculosis), jamur-jamnur, parasit-parasit, atau virus-virus
·            Kimia-Kimia Yang Terhisap Atau Senyawa-Senyawa Beracun: paparan pada beberapa agen-agen perbersih seperti ammonia
·            Penyakit-Penyakit Vaskular Kolagen: lupus, rheumatoid arthritis.
·            Kanker-Kanker: contohnya, penyebaran dari kanker paru atau kanker payudara ke Pleura.
·            Tumor-Tumor Dari Pleura: mesothelioma atau sarcoma
·            Kemacetan: gagal jantung
·            Pulmonary embolism: bekuan darah didalam pembuluh-pembuluh darah ke paruparu.
·            Bekuan-bekuan ini adakalanya dengan parah mengurangi darah dan oksigen ke bagian-bagian dari paru dan dapat berakibat pada kematian pada bagian itu dari jaringan paru (diistilahkan lung infarction). Ini juga dapat menyebabkan pleurisy.
·            Rintangan dari Kanal-Kanal Limfa: sebagai akibat dari tumor-tumor paru yang berlokasi secara central
·            Trauma: patah-patahan rusuk atau iritasi dari tabung-tabung dada yang digunakan untuk mengalirkan udara atau cairan dari rongga pleural pada dada
·            Obat-Obat Tertentu: obat-obat yang dapat menyebabkan sindrom-sindrom seperti lupus (seperti Hydralazine, Procan, Dilantin, dan lain-lainnya)
·            Proses-proses Perut: seperti pankreatitis, sirosis hati
·            Lung infarction: kematian jaringan paru yang disebabkan oleh kekurangan
oksigen dari suplai darah yang buruk

PATOGENESIS
Adanya radang pleura yang bersifat awal, sebelum terbentuknya cairan eksudasi radang, kedua lapisan pleura, yaitu pleura parietalis dan visceralis, saling bergesekan oleh karena keduanya mengalami penebalan. Gesekan antara keduanya akan menimbulkan suara friksi dalam pemeriksaan auskultasi. Pada proses yang berlangsung akut, rasa sakit terjadi sebagai akibat meningkatnya kepekaan syaraf sensoris pada pleura yang mengalami radang. Hal tersebut menyebabkan kurang leluasanya pengembangan dinding dada, hingga pernafasan lebih banyak dilakukan oleh otot-otot perut (pernafasan abdominal). Untuk mengurangi rasa sakit, pernafasan dilakukan dengan cepat dan intensitas yang dangkal. Oleh adanya cairan yang kemudian terbentuk, sebagai produkradang, volume rongga pleura berkurang dan tekanan negatif di dalamnya akan berkurang. Hal terakhir mengakibatkan kemampuan berkembang dari alveoli paru-paru juga menurun, dan hal tersebut mengakibatkan penderita cepat menjadi lelah meskipun hanya melakukan kerja fisik yang ringan.
Bagian paru-paru yang tercelup di dalam cairan radang, yang sifatnya purulen, mukopurulen, atau serosanguineus, akan cepat mengalami disfungsi dan mengalami atelektasis. Lobus paru-paru yang paling sering menderita atelektasis adalah lobus ventralis. Dalam keadaan demikian, bagian paru-paru tersebut tidak lagi berfungsi, dan untuk menutupi kebutuhan oksigen akan diikuti dengan kerja lebih, sebagai kompensasi, dari jaringa paru-paru yang lain. Jantung yang tercelup di dalam cairan radang juga akan mengalami degenerasi, hingga gejala kelemahan jantung juga akan dapat diamati. Kompresi cairan atas jantung, terutama pada atriumnya, menyebabkan bendungan pada vena-vena yang besar, antara lain vena jugularis. Bendungan tersebut akan dilihat dari luar dengan mudah.
Mungkin cairan radang dapat mengalami penyerapan, hingga pleura yang
meradang menjadi ”kering”. Dalam keadaan demikian biasanya terjadi adesi pada pleura hingga menyebabkan pertautan paru-paru dengan dinding dada, yang selanjutnya hal tersebut menyebabkan penurunan kemampuan paru-paru untuk berkembang sesuai dengan kemampuan normalnya. Gejala-gejala perubahan pernafasan akan segera tampak bila penderita dikerjakan agak berat. Radang pleura yang disebabkan oleh kuman hampair selalu diikuti dengan gejala toksemia, yang disebabkan oleh terbebasnya toksin kuman maupun karena hasil pemecahan reruntuhan jaringan.

GEJALA KLINIS
Gejala radang pada awalnya dimulai dengan ketidaktenangan, kemudian diikuti dengan pernafasn yang cepat dan dangkal. Dalam keadaan akut, karena rasa sakit waktu
bernafas dengan menggunakan otot-otot dada, pernafasan lebih bersifat abdominal. Untuk mengurangi rasa sakit di daerah dada, bahu penderita nampak direnggangkankeluar (posisi abduksi). Dalam keadaan seperti itu penderita jadi malas bergerak, hingga lebih banyak tinggal di kandang atau menyendiri dari kelompoknya. Kebanyakan penderita mengalami demam, sekitar 40oC.
Dalam pemeriksaan auskultasi terdengar suara friksi karena bergeseknya kedua pleura. Adanya cairan radang dalam auskultasi akan terdengar suara perpindahan cairan sesuai dengan irama pernafasan. Dalam pemeriksaan perkusi terdengar suara pekak, terutama pada bagian bawah daerah perkusi paru-paru. Bila cairan yang terbentuk cukup banyak, dalam perkusi dapat dikenali adanya daerah pekak horizontal, yang kadangkadang tingginya mencapai hampir setengah daerah perkusi. Oleh banyaknya cairan yang terbentuk gejala dispnoea juga menjadi lebih jelas.
 Kekurangan oksigen yang disebabkan oleh toksemia dan akibat radang paru-paru yang mengikutinya, penderita dapat mengalami kematian setiap saat. Pada radanag pleura penderita nampak lesu karena adanya penyerapan toksin (toksemia).
Proses kesembuhan dapat pula terjadi, meskipun biasanya diikuti dengan adesi pleura. Penderita demikian tampak normal, tetapi bila dikerjakan sedikit saja segera menjadi lelah karena turunya kapasitas vital pernafasannya.
Radang pleura kronik, yang mungkin ditemukan pada sapi yang menderita tuberkulosis, mungkin saja tidak mengakibatkan gejala pernafasan yang berarti. Kebanyakan penderita radang kronik hanya memperlihatkan kenaikan frekuensi pernafasannya.

DIAGNOSIS
Penentuan diagnosis radang didasarkan pada ditemukannya suara friksi dalam pemeriksaan auskultasi, serta adanya cairan radang di daslam rongga pleura. Di dalam praktek radang pleura hampir selalu ditemukan bersamaan dengan radang paru-paru hingga terjadi pleuropnemia. Memisahkan kedua gangguan tersebut dipandang tidak ada gunanya.
Dari emfisema pulmonum, radang pleura dapat dibedakan karena pada yang terakhir tidak ditemukan suara timpanis dalam pemeriksaan perkusi.
Dari hidrotorak, khilothoraks, dan hemothoraks, radang pleura memiliki
perbedaan karena padanya biasa disertai kenaikan suhu seluruh tubuh maupun adanya rasa sakit waktu bernapas, terutama pada proses yang berlangsung akut.
Untuk membedakan penyakit-penyakit tersebut, perlu dilakukan thoracosentesis. Cairan yang dapat dihisap, dapat digunakan untuk menentukan perubahan patologis di dalam rongga dada penderita.

PROGNOSIS
Prognosis radang pleura tidak selalu menggembirakan. Hal tersebut disebabkan
oleh kesukaran dalam penanganan kasus, yang seharusnya penderita ditempatkan pada tempat yang hangat, bersih, dan tidak berdebu, serta kesulitan dalam menghentikan proses radang.


Patologi Anatomi dan Histo Patologi Pleuritis






Sumber: google.com
TERAPI
Penggunaaan antibiotika berspektrum luas atau sediaan sulfonamid sangat dianjurkan untuk membunuh kuman-kuman penyebab radang infeksi. Obat-obat tersebut dapat diberikan secara parenteral atau per os, atau gabungan keduanya. Apabila jumlah cairan di dalam rongga pleura dipandang terlalu mengganggu pernafasan, cairan radang tersebut perlu dikeluarkan dengan jalan torakosentesis, dan kemudian ke dalam rongga pleura dimasukkan larutan antibiotika atau sulfonamid. Karena cairan tersebut biasanya bersifat purulen, mukopurulen, atau serosanguineus, apalagi di dalam cairan juga terdapat fibrin dan reruntuhan jaringan, aspirasi cairan radang yang dimaksud tidak selalu mudah dilakukan.
Untuk mengurangi rasa sakit yang biasanya ditemukan pada stadium akut, pengobatan dengan analgetika dan transquilizer dapat dipertimbangkan. Apabila radang juga dapat disertai oleh empisema, pengeluaran nanah secara berkala dengan jalan torakosentesis, atau dengan drainase yang dipasang semipermanen, disertai suntikan antibiotika atau sediaan sulfa, dengan sediaan enzim proteolitik dapat juga dianjurkan.
Sebelum melakukan pengobatan hendaknya benar-benar dipikirkan tentang keberhasilan pengobatan yang dilakukan. Bila memang tidak banyak memberi harapan, lebih baik penderita dimanfaatkan karkasnya untuk konsumsi. Selain memiliki arti ekonomik, pencemaran karkas oleh obat-obatan tidak perlu terjadi.

PENCEGAHAN
Berdasarkan penyebabnya, pleuritis dapat di cegah dengan cara :
·         Peningkatan daya tahan tubuh hewan, misalnya dengan diberikan vitamin.
·         Menghindari adanya trauma akibat benda disekitar kandang atau lingkungan sekitar
·         Sanitasi kandang yang baik dan benar agar pertumbuhan bakteri dan jamur penyebab pleuritis dapat terkontrol
·         Menghindari adanya zat kimia dan obat-obatan yang dapat memacu terjadinya pleuritis






























Daftar Pustaka

Blood, D.C., Hemderson, J.A dan Radostitis, O.M. 1979. Veterinary Medicine: A
Christensen G. & Enø C. (1999) Forekomst af forandringer i pluckset af danske slagtesvin. (The prevalence of pneumonia, pleuritis, pericarditis and liver spots in Danish slaughter pigs in 1998, including comparation with 1994). Dansk Veterinærtidsskrift 82, 1006–15.
Cleveland-Nielsen A., Nielsen E.O. & Ersbøll A.K. (2002) Chronic pleuritis in Danish slaughter pig herds. Preventive Veterinary Medicine 55, 121–35.
Enøe C., Mousing J., Schirmer A.L. & Willeberg P. (2002) Infectious and rearing-system related risk factors for chronic pleuritis in slaughter pigs. Preventive Veterinary Medicine 54, 337–49
Sara M. Kass. 2007. American Family Physician. www.aafp.org/afp
Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
 Sørensen V., Jorsal S.E. & Mousing J. (2006) Diseases of the respiratory system. In: Diseases of Swine, 9th edn (Eds by B.E. Straw, J.J. Zimmerman, S. D

Allaire & D.J. Taylor), pp. 149–77. Blackwell Publishing, Ames, IA.
Mousing J., Lybye H., Barfod K., Meyling A., Rønsholt L. & Willeberg P. (1990) Chronic pleuritis in pigs for slaughter: an epidemiological study of infectious and rearing system-related risk factors. Preventive Veterinary Medicine 9, 107–19.
Textbook of Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Boatsand Horse. Australia: University of Melbourne
Watson, C.J. 1963. Outline of Internal Medicine. Iowa: W.M. C. Brown Company Publisher.

Yamada Naoaki et al. 2013. Bacterial Pleuritis with Thickened Mesothelial Hyperplasia in a Young Beagle Dog. Journal of Toxicologic Pathology:26(3): 313–317.

Zachary J.F et al. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease. China: Elsevier

1 komentar:

  1. terimakasih atas tulisannya kak Nurlili, yang bisa saya jadikan referensi untuk belajar interna. Salam vetro!

    BalasHapus

PREMEDIKASI DAN ANESTESI VETERINER

RINGKASAN Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasi...