PENDAHULUAN
Anjing Kintamani adalah ras anjing yang berasal dari daerah pegunungan Kintamani pulau Bali. Anjing yang
memiliki sifat pemberani ini sudah lama mulai dibiakan sehingga dapat diakui
oleh dunia internasional.
Secara
fenotipe Anjing Kintamani mudah dikenal, dapat dibandingkan dengan jelas antara
Anjing Kintamani dengan anjing-anjing lokal yang ada, ataupun anjing hasil
persilangan antara ras yang sama maupun persilangan lainnya.
Standar
fenotipe Anjing Kintamani meliputi ciri-ciri umum, sifat-sifat umum, tinggi
badan hingga ke gumba, dasar pigmentasikulit, bentuk kepala, telinga, mata, hidung, gigi, bentuk leher, bentuk badan, kaki dan ekor mempunyai kesamaan.
Perbedaannya pada distribusi warna rambut dan
ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1994. Standar ini
dipakai sebagai acuan dasar pada setiap kontes
anjing dan pameran Anjing
Kintamani dan telah mendapat pengakuan PERKIN (Dharma.M.N. Dewa; PudjiRahardjo;
Kertayadnya I.G, 1994.).
Mulai banyak
orang yang senang memelihara anjing karena anjing adalah hewan yang cerdas,
mereka bisa sangat akrab dengan majikannya dan tak banyak orang juga menjadikan
anjing sebagai sahabat. Orang-orang sekarang sangat memperhatikan anjing
mereka, mulai dari pakannya, tempat tinggalnya, dan juga kesehatannya. Tak
jarang orang membawa hewannya ke klinik hewan atau dokter hewan dikala anjing
mereka sakit. Penyakit yang kasusnya sering dijumpai adalah penyakit yang
disebabkan oleh cacing, banyak penyakit yang disebabkan oleh parasit satu ini,
mulai dari yang ringan sampai yang parah.
Jenis jenis
cacing juga bermacam-macam yang menyerang anjing, contohnya saja ancylostoma
caninum, toxocara canis, D.immitis. Cacing-cacing ini akan menyebabkan penyakit
pada anjing dengan gejala-gejala klinis, yang dimana sangat merugikan anjing.
Maka dari itu perlu ada manajemen untuk menangani penyakit-penyakit cacing
tersebut.
1.
Apa
itu ancylostomiasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
2.
Apa
itu ascariosis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
3.
Apa
itu dirofilariasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
4.
Apa
itu trichuriasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
5.
Apa
itu taeniasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
6.
Apa
itu dipylidiasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
1.
Untuk
mengetahui apa itu ancylostomiasis dan manajemen penyakitnya
2.
Untuk
mengetahui apa itu ascariosis dan manajemen penyakitnya
3.
Untuk
mengetahui apa itu dirofilariasis dan manajemen penyakitnya
4.
Untuk
mengetahui apa itu trichuriasis dan manajemen penyakitnya
5.
Untuk
mengetahui apa itu taeniasis dan manajemen penyakitnya
6.
Untuk
mengetahui apa itu dipylidiasis dan manajemen penyakitnya
PEMBAHASAN
Definisi
yaitu penyakit
cacingan oleh cacing tambang (ancylostoma caninum), sering ditemukan di daerah
yang lembab. Ancylostomiasis pada anjing : meskipun ada cacingan disebabkan
oleh cacing kait dan penyebabnya bukan ancylostoma tetap disebut
ancylostomiasis.
Gambar 1. Cacing ancylostoma caninum
Etiologi
Cacing ancylostoma
berukuran 10-20 mm dan yang dewasa biasanya ditemukan melekat pada mukosa usus
halus anjing. TeLurnya termasuk tipe stongyloid yaitu berdinding tipis, oval,
dan bila dikeluarkan dari tubuh biasanya memiliki 2-8 gelembung dalam stadium
blastomer. Ukuran cacing dan telur cacing tembang pada anjing dan kucing adalah
sebagai berikut :
Spesies
|
Ukuran cacing dewasa (mm)
|
Ukuran telur (µ)
|
Fecundity (epg tinja/cacing ♀)
|
A. caninum
|
♂ : 10-12
♀ : 15-18
|
(56-75) x (34-47)
|
844
|
A. braziliense
|
♂ : 6-8
♀ : 7-10
|
(75-95) x (41-45)
|
-
|
U. stenophala
|
♂ : 5-8
♀ : 7-12
|
(63-76) x (32-38)
|
468
|
A. tubaeforme
|
♂ : 9,5-11
♀ : 12-15
|
(55-75) x (34,4-44,7)
|
-
|
Anjing dapat
terinfeksi oleh ketiga spesies tersebut, kecuali A. tubaeforme (yang hanya
dapat menginfeksi kucing
Gejala Klinis
Bentuk gejala klinis ancylostomiasis
dibedakan menjadi :
a. perakut : terjadi pada
anak anjing baru lahir dimana infeksinya melalui colostrum. pada keadaan ini
anjing dengan gejala mukosa pucat, diarhe berdarah dan terjadi kematian secara
mendadak. Telur cacing belum bisa ditemuka pada feses.
b. Akut :
terjadi infeksi larva infektif secara tiba-tiba dalam jumlah besar. Beberapa
telur ditemukan pada feses tetapi gejala klinis muncul sebelum telur cacing
nampak dalam feses.
c. Khronik
: tanpa gejala klinis yang khas. Diagnosis berdasarkan
telur yang ditemukan dalam feses. Terjadi penurunan jumlah erythrocyte, Hb dan
PCV.
Gejala
klinis tidak selalu menyertai setiap infeksi dari ancylostoma sp. dan biasanya
erat hubungannya aktivitas dan habitat dari parasit yang bersangkutan. Diarhe
berdarah yang disertai cairan lendir sebagai akibat adanya cacing pada usus
halus disertai infeksi sekender dari bakteri. Dermatitis akibat penetrasi larva
pada kulit disertai infeksi sekender. Bila larva berdiam dalam saluran
pernafasan dan paru-paru maka timbul gejala sesak nafas sebagai akibat radang
saluran pernafasan dan paru-paru. Bila penyakti berlangsung kronis maka induk
semang mengalami dehidrasi, lemah, kurus, dan konjungtiva pucat karena anemi.
Cara Penularan
Cara
penularan Ancylostomiasis pada anjing dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1. Infeksi
per. Oral. Larva
infektif (Larva stadium 3) dimakan bersama makanan dan minuman.
2. Infeksi
dengan menembus kulit. Larva yang aktif menembus kulit ataupun menembus
membrana mukosa mulut dan mencapai pembuluh-pembuluh balik yang kecil kemudian
bersama aliran darah menuju jantung dan mengalami migrasi peredaran darah
kemudian menuju paru-paru dan disana mengalami pergantian kulit (L4) dan
melalui trakea tertelan sampai di usus menjadi dewasa. Cacing dewasa mengkaitkan
diri pada mukosa usus halus dan menghisap darah.
3. Infeksi
prenatal. Pada hewan bunting, infeksi prenatal bisa terjadi bila larva memasuki
aliran darah hewan bunting dan mencapai foetus. Larva akan tetap tinggal
didalam tubuh foetus sampai dilahirkan, kemudian akan berkembang menjadi cacing
muda didalam usus halus anjing.
4. Infeksi
laktogenik. Larva stadium 3 ancylostoma yang bersifat dormant didalam otot akan
menjadi ineksius pada saat laktasi.
Patofisiologi
Telur dihasilkan oleh
cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur tersebut jatuh ke tembat
yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah menjadi larva yang
infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit, bermigrasi sampai ke
paru-paru dan kemudian turun ke usus halus; di sini larva berkembang menjadi
cacing dewasa. Infeksi terjadi jika larva filariform menembus kulit. Infeksi
A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform
Pencegahan
Pengendalian parasit ini
harus diarahkan agar tidak mengurangi tingkat pencemaran
lingkungan. Pengobatan individu yang terinfeksi parah adalah salah satu
cara untuk mengurangi sumber kontaminasi (satu penelitian memperkirakan bahwa
60% dari total beban cacing berada pada kurang dari 10% populasi). Metode
lain yang jelas adalah memperbaiki akses terhadap sanitasi , misalnya
toilet,
tapi juga meyakinkan orang untuk mempertahankannya dalam keadaan bersih dan
fungsional, sehingga membuat mereka kondusif untuk digunakan.
Pengobatan
-
Pyrantel pamoat, diberikan secara oral : 15 mg/kg bb
-
Mebendazole, secara oral : 22 mg/kg bb per hari selama 5 hari
-
Albendazole secara oral : 5 mg/kg bb
-
Ivermectine secara sub kutan 200 ug/kg
Ascariosis
adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing golongan toxocara yaitu
Toxocara canis.
Penularan biasanya melalui telur
cacing yang tanpa sengaja tertelan karena telur cacing mencemari tempat makanan
dan minuman, kandang dan lain-lain. Penularan juga dapat melalui induk semasa
dalam masa kebuntingan, dan pada waktu anak lahir sudah tertular cacingan.
Proses penularan pertama kali melalui telur tertelan, kemudian telur menetas
dalam perut. Cacing ini berusaha menembus dinding usus lalu masuk ke dalam
saluran darah dan mengikuti aliran darah sampai di hati. Di hati cacing ini
berusaha menembus hati dan berusaha mencapai paru-paru, melalui aliran darah
paru-paru memecah pembuluh darah kapiler kemudian masuk sampai ke kantung udara
paru-paru. Cacing ini terus melanjutkan perjalanannya ke saluran pernafasan
atas mencapai kerongkongan dan akhirnya tertelan kembali masuk ke perut dan
menjadi dewasa di dalam usus. Dalam usus cacing ini berkembang biak dan juga
menimbulkan gangguan pada usus. Parah tidaknya gangguan penyakit tersebut
tergantung dari banyak tidaknya cacing yang terdapat dalam usus tersebut. Makin
banyak cacing dalam perut makin parah gangguannya. Toxocariasis selain dapat
menginfeksi anjing juga dapat menginfeksi manusia, berdasarkan gejala klinisnya
pada manusia dapat diklasifikasikan menjadi visceral larva migrans adanya
migrasi larva dalam organ dan ocular larva migrans karena adanya migrasi larva
pada mata.
Pada anak anjing mula-mula terlihat
gejala perut membesar meskipun tidak banyak makan, anjing terlihat kurang enak
pada bagian perutnya, merengek-rengek, dan pada waktu berdiri posisi kaki
belakang agak melebar untuk menahan rasa sakit pada bagian perutnya. Anjing
tampak anemia, lemah, gelisah, anak anjing tidak mau menyusui induknya, bulu
kusam, mata berair, nafas terengah-engah,
sesak nafas, kadang-kadang diikuti dengan mencret dan muntah-muntah. Kematian
anak anjing biasanya dipercepat dengan adanya infeksi sekunder sehingga terjadi
radang paru-paru (pneumonia). Pada anjing dewasa hanya terjadi gejala ringan
yaitu pertumbuhan terhambat, bulu kusam dan berdiri, mata berair, lesu, nafsu
makan turun. Apabila anak-anak anjing yang masih menyusu satu per satu mati
tanpa menunjukkan gejala klinis, kecuali perut agak besar dan lemas harus
curiga kematiannya disebabkan oleh cacing Toxocara ini.
Diagnosis ascariosis pada anjing
dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien atau ditemukan cacing dewasa
pada anus, hidung, atau mulut.
Pengobatan ascariosis pada anjing dapat
digunakan obat-obat seperti piperasin, pirantel pamoat, mebendazol, albendazol.
Garam piperazin sangat efektif terhadap Ascariosis dan dapat dipakai dengan
aman. Dosis tunggal akan menyembuhkan 75 sampai 85 % dari semua infeksi.
Pengobatan dua hari beturut-turut akan menyembuhkan kira-kira 95 % dari semua
infeksi. Piperazin dapat diberikan sewaktu-waktu, karena makanan di dalam usus
sedikit atau sama sekali tidak mempengaruhi efeknya terhadap Ascaris. Piperazin
mempengaruhi potensial ”transmembran” dari otot Ascaris dan melemaskannya untuk
sementara. Cacing itu langsung kehilangan keinginannya untuk bergerak ke atas
dan menekan pada dinding hospes untuk mempertahankan tempatnya. Pergerakan
peristaltik usus mengeluarkan cacing di waktu sedang lemas. Sirup piperazin
sitrat telah di pakai dengan hasil baik pada penyumbatan sebagian usus, yang di
sebabkan oleh Ascariosis, dikombinasi dengan pengurangan tekanan perut dengan
tabung Levine dan pengobatan tambahan.
Infeksi cacing jantung (dirofilariasis)
disebabkan oleh D. immitis, terutama terjadi pada anggota famili Canidae, telah
tersebar luas di daerah tropis, subtropis, dan daerah beriklim sedang (Aranda,
et al., 1998; Cringoli, et al., 2001; Fan, et al., 2001; Song, et al., 2003;
Atkins, 2005). D. immitis merupakan parasit filaria yang paling penting pada
anjing (Reifur, et al., 2004).
Gambar 2.
Cacing jantung (D. immitis) pada arteri pulmonalis anjing (Nelson, et al.,
2005)
Apabila infeksi cacing jantung
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan patologik, kondisi demikian
disebut dengan penyakit cacing jantung. Penyakit tersebut sangat bervariasi
dari asimptomatik sampai parah, bahkan dapat mengancam kehidupan 5 Dirofilariasis
inangnya karena menimbulkan penyakit kronis pada arteri pulmonalis, paru-paru,
dan jantung (Atkins, 2005).
Epidemiologi
Cacing jantung pada anjing telah
diketahui terjadi di Amerika lebih dari 150 tahun yang lalu (1847), dan kasus
pertama pada kucing dilaporkan pada tahun 1921 (Labarthe dan Guerrero, 2005).
Studi epidemiologi mengindikasikan bahwa pada daerah endemis dirofilariasis
pada anjing, maka kucing berisiko tertular (Kramer dan Genchi, 2002). Liu, et
al. (2005) menyatakan bahwa secara umum, anjing dapat terinfeksi dengan mudah
sedangkan kucing tidak mudah terinfeksi. Tetapi tidak seperti pada anjing, dua
cacing dewasa saja pada kucing sudah dapat mengakibatkan pembesaran jantung dan
gangguan respirasi yang parah. Selain anjing dan kucing, hewan yang dapat
terinfeksi D. immitis adalah serigala, rubah, coyote, ferret, tikus air, singa
laut, coatimundi (Atkins, 2005), macan tutul salju (Murata, et al., 2003),
penguin (Sano, et al., 2005), berang-berang (Wang, et al., 2008), oncilla
(Filoni, et al., 2009), orangutan (Duran-Struuck, et al., 2005), dan bahkan
juga manusia (Atkins, 2005; Liu, et al., 2005; Cruz-Chan, et al., 2009; Genchi,
et al., 2009). Prevalensi dan distribusi geografik infeksi D. immitis telah
dilaporkan di berbagai negara. Tabel 1. berikut ini menyajikan data 6
Dirofilariasis prevalensi infeks D. immitis pada anjing dan kucing di beberapa
negara.
Siklus hidup
Siklus Hidup Siklus hidup D. immitis
terjadi dalam dua fase; fase pertama terjadi pada nyamuk dan fase kedua terjadi
pada induk semang definitif (Thanchomnang, et al., 2009). D. immitis ditularkan
oleh lebih dari 60 spesies nyamuk (Atkins, 2005; Svobodova, et al., 2005),
tetapi jumlah nyamuk yang penting sebagai vektor kurang dari 12 spesies
(Atkins, 2005). Cacing dewasa (L5) hidup pada arteri pulmonalis dan ventrikel
kanan. Setelah kawin, cacing betina dewasa menghasilkan mikrofilaria (L1) yang
dilepas memasuki sistem sirkulasi (Atkins, 2005; Svobodova, et al., 2005;
Cruz-Chan, et al., 2009; Genchi, et al., 2009). Apabila anjing digigit oleh
nyamuk, mikrofilaria (L1) dapat terhisap. Pada tubulus malpigi nyamuk betina L1
mengalami dua kali moulting (L1 menjadi L2 8 Dirofilariasis menjadi L3). Proses
tersebut berlangsung selama 8 - 17 hari. L3 bersifat infektif dan apabila nyamuk
yang mengandung L3 menggigit hewan peka, L3 dapat berpindah ke hewan peka
tersebut (Atkins, 2005; Bowman, et al., 2009).
Gambar 3. Siklus hidp D.immitis pada anjing (
Atkins, 2015)
Setelah terjadi infeksi pada hewan peka, terjadi
moulting di daerah subkutan, jaringan lemak, dan jaringan otot skeletal, dengan
moulting akhir menghasilkan L5. Proses moulting dari L3 menjadi L4 kemudian
menjadi L5 berlangsung selama 50 – 68 hari setelah terjadi infeksi. Cacing
imatur (panjang 1 – 2 cm) tersebut memasuki sistem 9 Dirofilariasis vaskular,
kemudian bermigrasi ke jantung dan arteri pulmonalis dimana cacing mengalami
pendewasaan. Cacing jantan dewasa mempunyai ukuran panjang 15 – 18 cm dan yang
betina berukuran 25 – 30 cm. Pada kondisi optimum, siklus hidup cacing jantung
berlangsung selama 184 – 210 hari. Periode prepatent cacing jantung adalah 6 –
7 bulan (Yildiz, et al., 2008). Cacing dewasa pada anjing dapat bertahan hidup
sampai 5 tahun dan mikrofilaria sampai 30 bulan (Atkins, 2005). Larva (L5)
cacing D. immitis pada anjing secara tidak normal dapat bermigrasi ke organ
lain, seperti otak, sumsum tulang belakang, ruang epidural, ruang mata bagian
anterior, dan rongga peritoneal (Oh, et al., 2008), aorta, hati (Goggin, et al.,
1997), cairan sinovial (Hodges dan Rishniw, 2008), dan kadang-kadang ditemukan
pada vena kava
Patofisiologi
Infeksi D. immitis ditandai oleh
beberapa gambaran klinis yang disebabkan oleh cacing dewasa dan mikrofilaria
(L1). Mikrofilaria mimiliki peran yang relatif kecil dalam patogenik, tetapi
dapat menyebabkan pneumonitis dan glomerulonefritis yang signifikan secara
klinik (Grandi, et al., 2007). Cacing jantung dewasa hidup pada arteri
pulmonalis, dan pada jumlah yang lebih sedikit pada infeksi berat juga hidup
pada atrium 10 Dirofilariasis kanan. Aspek klinis utama yang ditimbulkan
merupakan manifestasi kerusakan pada arteri pulmonalis (Atkins, 2005; Grandi,
et al., 2007). Kebanyakan anjing yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala
penyakit untuk jangka waktu lama, bulan atau tahun, tergantung pada jumlah
cacing, interaksi inang-parasit, dan latihan yang diterima oleh anjing (Atkins,
2005; Venco, 2007). Efek utama pada arteri pulmonalis berupa inflamasi,
hipertensi pulmoner, gangguan keutuhan pembuluh arteri, dan fibrosis. Hal
tersebut dapat diperparah oleh obstruksi arteri dan vasokonstriksi yang
disebabkan oleh tromboemboli karena cacing yang telah mati dan produknya.
Pembuluh darah pada lobus paru-paru bagian kaudal juga terkena imbasnya.
Substansi vasoaktif yang dihasilkan oleh cacing jantung mengakibatkan
vasokontriksi pulmoner. Ventrikel kanan mendapat tekanan yang berlebihan karena
adanya beban tambahan berupa cacing. Hipertrofi merupakan kompensasi pertama
yang terjadi, dan pada infeksi yang parah akhirnya akan terjadi dekompensasi
(gagal jantung kanan) (Atkins, 2005). Cacing jantung juga dapat menimbulkan
penyakit karena penyimpangan migrasi. Penyimpangan migrasi tersebut
mengakibatkan timbulnya manifestasi klinis yang tidak normal karena cacing dapat
ditemukan di otak, sumsum tulang belakang, ruang epidural, ruang mata bagian
anterior, dan rongga peritoneal (Oh, et al., 2008), aorta, 11 Dirofilariasis
hati (Goggin, et al., 1997), cairan sinovial (Hodges dan Rishniw, 2008), dan
kadang-kadang ditemukan pada vena kava (Yildiz, et al., 2008). (Yildiz, et al., 2008).
Gejala Klinis
Sejumlah cacing D. immitis yang
menginfeksi anjing dengan ukuran yang relatif besar (cacing betina dengan
panjang 25 – 35 cm) dapat mengakibatkan gangguan sirkulasi yang bersifat kronis
dan akhirnya mengakibatkan gagal jantung (Boonyapakorn, et al., 2008). Menurut
Cruz-Chan, et al. (2009) gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi D. immitis
mulai gejala yang ringan berupa keletihan karena hewan diberikan latihan sampai
pada gagal jantung kongestif yang bersifat fatal. Atkins (2005) menyatakan
bahwa kebanyakan kasus infeksi cacing jantung adalah asimptomatik. Sejarah
penyakit anjing penderita sangat bervariasi, di antaranya kehilangan berat
badan, toleransi terhadap latihan menurun, letargi, batuk, dispnea, sinkop, dan
distensi abdominal (ascites). Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya suara
jantung kedua berganda, suara murmur pada jantung kanan, cardiac gallop, batuk,
dispnea, dan sianosis. Bila pada anjing terdapat 10 - 25 cacing dewasa dan
anjing hanya mendapat latihan ringan, tidak akan menunjukkan gejala klinis.
Tetapi bila jumlah cacing mencapai 50 - 100 akan menunjukkan gejala sedang
sampai parah. Fan, et al. (2001) dan Yildirim, et al. (2007) 12 Dirofilariasis
menyatakan bahwa D. immitis dapat menyebabkan edema, asthma, gagal jantung, dan
bahkan kematian pada anjing penderita. Cacing dewasa dapat mengakibatkan
endokarditis, kelainan pada katup jantung, gangguan sirkulasi, dan hipertensi.
Hipertrofi jantung, kongesti hati, sirosis, dan ascites merupakan simptom dari
infeksi cacing jantung pada anjing (Yildiz, et al., 2008). Kamiie, et al.
(2000) menyatakan bahwa glomerulonefritis disertai proteinuria dapat terjadi
pada anjing yang terinfeksi D. immitis.
Gambar 4. Anjing penderita Dirofilariasis dengan gejala ascites (
Atkins, 2015 )
Gejala klinis pada manusia dapat
berupa batuk, hipersensitivitas, dan lesi pulmoner. Lesi pulmoner tersebut
dengan pemeriksaan menggunakan X-ray dan pemeriksaan sitologi sering
mengakibatkan kesalahan diagnosis dianggap sebagai tuberkulosis atau kanker
paruparu (Fan, et al., 2001; Boonyapakorn, et al., 2005).
Diagnosis
Penyakit cacing jantung dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik pada ulas darah dan metode
konsentrasi untuk mengetahui ada tidaknya mikrofilaria, tes antigen dan
antibodi, serta teknik molekuler. Metode mikroskopik dan konsentrasi memiliki
sensitifitas yang rendah karena adanya infeksi yang samar (infeksi tanpa
mikrofilaria), sedangkan tes antibodi spesifisitasnya sangat rendah (Vezzani,
et al, 2008). Selama 10 - 15 tahun terakhir, perhatian dialihkan dari
pemeriksaan rutin untuk menemukan mikrofilaria pada darah ke pemeriksaan
serologis untuk pemeriksaan antigen terhadap D. immitis (Datz, 2003). Adanya
mikrofilaria pada darah perifer pada anjing digunakan sebagai indikator
terjadinya infeksi cacing jantung (Appleton dan Arlian, 1979). Tetapi pada
infeksi cacing jantung yang samar (anjing terinfeksi tanpa mikrofilaria)
menyebabkan hasil negatif palsu, apabila test mikrofilaria tidak dikombinasikan
dengan test antigen (Reifur, et al., 2004). Metode PCR sangat sensitif dan
akurat untuk membedakan spesies mikrofilaria yang menginfeksi anjing (Rishniw,
et al., 2006; Vezzani, et al, 2008; Thanchomnang, et al., 2009)). Kelainan
hematologi dan kimia klinik, walaupun penggunaannya sangat terbatas dalam
membuat diagnosis dirofilariasis, sering sangat 14 Dirofilariasis bermanfaat
dalam memberikan bukti pendukung dan untuk mengevaluasi proses penyakit
(Atkins, 2005).
Pencegahan dan Pengobatan
Infeksi cacing jantung sangat melemahkan
kondisi hewan penderita dan bahkan mematikan. Pengobatannya sangat mahal dan
sulit dilakukan (Talukder, et al., 2007). Karena itu, pencegahan infeksi perlu
diprioritaskan. Sejumlah obat tersedia untuk pencegahan infeksi cacing jantung.
Macrocyclic lactone (ivermectin, milbemycin oxime, moxidectin, dan selamectin)
merupakan obat pilihan yang aman dan efektif. Obat tersebut memotong
perkembangan larva cacing dua bulan setelah infeksi, sehingga sangat manjur
sebagai obat untuk mencegah penyakit cacing jantung (McTier, et al., 200;
Venco, et al., 2004; McCall, 2005; Atkins, 2005; Lok, et al., 2005). Nelson, et
al. (2005) menyatakan bahwa obat-obat tersebut juga mempunyai aktivitas
antelmintik terhadap mikrofilaria. Pengobatan terhadap infeksi cacing jantung
sangat sulit. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan, termasuk pilihan
untuk tidak melakukan pengobatan sama sekali. Konsep penting untuk disadari
adalah bahwa pengobatan infeksi cacing jantung tidak sederhana dan juga tidak
aman. Sebelum pengobatan dilakukan, hewan penderita 15 Dirofilariasis harus
dinilai terhadap risiko kemungkinan terjadinya tromboembolisme setelah
pengobatan (Venco, 2007). Pengobatan terhadap penyakit cacing jantung dilakukan
dengan membunuh cacing dewasa. Obat yang efektif membunuh cacing dewasa adalah
melarsomine dihydrochloride. Setelah pemberian obat melarsomine dihydrochloride
aktivitas anjing harus sangat dibatasi selama 4 - 6 minggu untuk memperkecil
komplikasi kardiopulmoner (Nelson, et al., 2005; Venco, 2007; Kahn dan Line,
2008). Pemberian ivermectin setiap bulan secara berkesinambungan pada dosis
profilaktik dilaporkan efektif terhadap larva prekardiak dan cacing muda (<7
bulan setelah infeksi). Tetapi efek terhadap cacing dewasa membutuhkan waktu
pemberian lebih dari satu tahun, bahkan dapat lebih dari dua tahun untuk
mengeliminasi cacing dewasa secara sempurna. Karena itu, pemberian ivermectin
jangka panjang secara berkesinambungan bukan merupakan pengganti obat cacing
dewasa (Nelson, et al., 2005).
Trichuris adalah
salah satu jenis cacing cambuk. Bentuk cacing ini seperti cambuk kereta dimana
salah satu ujungnya tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis. Cacing trichuris
dimasukkan ke dalam kelas Adenophorasida. Mereka tidak memiliki saluran ekskresi
maupun famida dan esofagus. Anusnya terminal maupun subterminal. Ujung
posterior cacing jantan bergulung ke dorsal dalam bentuk spiral. Terdapat
spikulum tunggal dikelilingi oleh sebuah selubung yang memiliki kemiripan
preputium yang mengalami evaginasi bila spikulum ditonjolkan. Ujung posterior
cacing betina sedikit melengkung. Vulvanya dekat dengan batas antara bagian
posterior dan anterior tubuh. Telurnya memiliki kulit yang tebal berwarna
kecoklatan dengan sumbat dikedua ujungnya dan belum bersegmen ketika
dikeluarkan. Terdapat sekitar 70 jenis pada mamalia.
Parasit pada usus
besar yang menyerang anjing adalah Trichuris Vulpis biasanya berada di dalam
caecum dan kadang berada di kolon. Cacing jantan dan betina memiliki panjang 45
– 75 mm dengan cacing jantan memiliki spikulum 7,6 – 11 mm. Dengan telur
berukuran 72 – 90 x 32-40 mikron.
Epidemiologi T. Vulpis hampir mirip dengan T. Suis yang ada pada babi.
T. Vulpis tidak memiliki induk semang antara, jadi anjing akan terinfeksi
setelah memakan telur cacing berembrio yang mengandung larva stadium II. Telur
tersebut sangat resisten terhadap terhadap keadaan lingkungan dan dapat
bertahun-tahun hidup di dalam tanah.
Perkembangan di dalam
induk semang definitif berlangsung di dalam lumen usus halus. Dan masa prepaten
sebelum telur muncul dalam feses adalah 2 – 3 bulan. Cacing T. Vulpis ditemukan
menempel pada selaput lendir usus dengan ujung depannya seperti sebuah jarum di
sehelai kain.. Kebanyakan infeksi bersifat ringan dan menyebabkan kerusakan
yang kecil. Tetapi pada infeksi yang berat cacing cambuk dapat menyebabkan
kegelisahan, kehilangan berat badan, diare hingga diare berdarah, anemia,
colitis dan bahkan anjing bisa mati.
Cacing T. Vulpis dapat
didiagnosis dengan menemukan telur cacing di dalam feses dan juga dengan
menemukan cacing itu sendiri ketika melakukan nekropsi.
Kebersihan merupakan
kunci terhadap pengendalian adanya infeksi dari cacing T. Vulpis. Dengan
melakukan sanitasi kandang yang digunakan dengan desinfektan dapat mencegah
terjadinya infeksi. Keadaan kandang yang kering juga di sarankan, karena
perkembangan telur cacing sangat optimal pada suhu 6oC – 20oC. Pengobatan pada anjing yang terinfeksi cacing
T. Vulpis dapat melibatkan banyak obat-obatan pada dosis tertentu dan diulang
setiap 3 bulan karena dalam jangka waktu tersebut cacing akan berubah manjadi
cacing dewasa. Obat yang biasanya digunakan antara lain:
1.
Milbemycin dosis
5,5 mg/kg diulang setiap bulan
2.
Fenbendazole dosis
50 mg/kg diberikan selama 3 hari berturut – turut
3.
Dichlophos dosis
27 – 34 mg/kg diberikan sekali
4.
Mebendazole dosis
10 mg/kg diberikan 2 kali sehari selama 5 hari
5.
Dipthafyne dosis
25 – 50 mg/kg diberikan sekali
6.
Pyrantel pamoat
100 mg plus oxantel pamoat 380 mg à canex plus, dosis 200 mg/kg atau 1/7 tablet diberikan
sekali 1 tablet untuk 7 kg BB
7.
N-butyl Chloride
dosis 0,1 – 10 ml/kg diberikan setiap jam selama 5 jam degan hasil berkisar 0 –
100%
8.
Phthalofyne atau
whipcide bisa diberikan secara oral dengan dosis 100 – 200 mg/kg atau IV dosis
250-300 ml/kg. Dengan IV kadang menimbulkan depresi ataxia yang bersifat
sementara.
9.
Glycobiarsol pada
dosis tunggal 1000 mg/kg atau 200 mg/kg selama 5 – 10 hari
Gambar 5. Telur
Trichuris
Gambar 6. Cacing Trichuris
1.
Etiologi
Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita pada anjing yang
disebabkan oleh Dipylidium caninum. Selain anjing, hospes
definitif lainnya adalah kucing dan karnivora liar. Sebagai intermediate
hostnya (hospes perantara) adalah flea (pinjal) anjing (Ctenocephalides
canis) , pinjal kucing (Ctenocephalides felis). Selain
itu Pulex irritansdan kutu / tuma anjing (Trichodectes canis)
juga diduga sebagai intermediate host (Levine ND,1994). Cacing ini dikenal juga
dengan nama lain flea tapeworm, double-pored tapeworm, cucumber seed tapeworm
atau common dog tapeworm. Cacing pita ini termasuk kedalam kelas subkelas
cestoda, kelas cestoidea, filum platyhelminthes, genus dipylidiidae, spesies
diiphilidium caninum.
Klasifikasi taksonomi cacing dipylidium caninum:
Kingdom : Animalia
Phylum
: Platyhelminthes
Class
: Cestoda
Order
: Cyclophyllidea
Family
: Dipylidiidae
Genus
: Dipylidium
Species
: D. caninum
2.
Morfologi dan siklus hidup :
Cacing dewasa
dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus ini
panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175
proglottid. Scolex cacing ini berbentuk belah ketupat (rhomboidal) dan
mempunyai 4 buah sucker yang menonjol dan berbentuk oval. Sucker dilengkapi
dengan rostellum yang retraktil dan berbentuk kerucut serta dilengkapi dengan
sekitar 30 sampai 150 kait (hook) berbentuk duri mawar yang tersusun melengkung
transversal. Proglottid mature berbentuk seperti vas bunga dan Tiap segmennya
mempunyai 2 perangkat alat reproduksi serta 1 lubang kelamin di tengah –tengah
sisi lateralnya. Proglottid gravid penuh berisi telur yang berada di dalam
kapsul / selubung (kantung). Tiap kantung berisi sekitar 15 sampai 25 telur.
Fenomena inilah yang disebut sebagai eggball. Tiap butir telur berdiameter
sekitar 35 sampai 60 µ dan berisi oncosphere yang mempunyai 6 kait. Proglottid
gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok 2
sampai 3 segmen. Segmen – segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci
per jam dan keluar melewati anus atau bersama feces.
Pinjal (flea) dari
anjing (Ctenocephalides canis) dan kucing ( Ctenocehalides
felis) atau kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) merupakan
intermediate host ( hospes perantara ) dari Dipylidium caninum ini.
Apabila telur Dipylidium caninum tertelan oleh larva dari
hospes perantara, maka oncosphere akan keluar dari telur dan menembus dinding
usus hospes perantara dan selanjutnya akan berkembang menjadi larva infektif
yang disebut larva cysticercoid. Apabila hospes perantara yang mengandung larva
cysticercoid tersebut tertelan oleh hospes definitive, maka larva cysticercoid
akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitive serta
tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20
hari. ( Soulsby,1982 ; Brown,1975)
3.
Patogenesis dan Gejala Klinis
Pada anjing atau kucing yang terinfeksi ringan tidak
terlihat gejala yang jelas, hanya tampak gelisah dan menggosok – gosokkan
anusnya ke tanah. Pada infeksi berat terlihat diare , konstipasi dan obstruksi
usus (Soulsby, 1982).
Selain
menyebabkan rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta
rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut
akan menyebabkan penderita menggosok gosokan bagian rektalnya di tanah.
Penderita dengan infeksi berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan
berat badan yang menurun (Soedarto, 2007).
4.
Pemeriksaan laboratorium
Dengan
ditemukan proglotid di feses ataupun dengan identifikasi telur cacing dengan
pemeriksaan mikroskopis.
5.
Diagnose
Berdasarkan anamnesa dari pemilik hewan, serta gejala klinis
yang tampak dapat diprediksi kemungkinan menderita dipylidiasis. Pemeriksaan
laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara memeriksa
adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama
feces. Kadang – kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita.
6.
Pencegahan dan Pengobatan
Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari
kontak antara hewan yang terinfeksi dengan hewan yang seha. Anjing atau kucing
penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu perlu dilakukan pemberantasan
pinjal atau kutu dengan insektisida ( Soedarto,2007) .
Pada anjing dan kucing anthelmimtik
yang digunakan adalah arecoline hydrobromide, arecolineacetasol, Bithional,
Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982).
1. Cara Penularan
Dan Siklus Hidup Cacing Taenia spp.
Untuk
kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu induk
semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginata
dan babi untuk T. solium). T. saginata tidak secara langsung ditularkan dari
manusia ke manusia, akan tetapi untuk T. solium dimungkinkan bisa ditularkan
secara langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang
terinfeksi langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain. Siklus hidup
cacing T. saginata dapat dilihat pada Gambar 1. Di dalam usus manusia yang
menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak
(mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar bersama feses dan termakan
oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi onkoster
(telur yang mengandung larva). Larva onkoster menembus usus dan masuk ke dalam
pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan
membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. saginata). Kista akan
membesar dan membentuk gelembung yang disebut sistiserkus. Manusia akan
tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang.
Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks
menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa
yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila
proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi.
Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi
larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus
hidup seperti di atas. Siklus hidup T. solium pada dasarnya sama dengan siklus
hidup T. saginata, akan tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan
manusia akan terinfeksi apabila memakan daging babi yang mengandung kista dan
kurang matang/tidak sempurna memasaknya atau tertelan telur cacing. T. saginata
menjadi dewasa dalam waktu10 – 12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 –
12 minggu (OIE, 2005). Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan
(tidak tergantung suhu dan kelembaban) sampai beberapa minggu bahkan bisa
bertahan sampai beberapa bulan. Proglotid T. saginata biasanya lebih aktif
(motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari feses menuju ke
rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan atau pada rumput
selama beberapa minggu/bulan. Pada hewan, Taeniasis disebabkan oleh T. ovis, T.
taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Ini
terjadi karena hewan memakan daging dari induk semang perantara termasuk
ruminansia, kelinci dan tikus. Pada sapi (C. bovis) mulai mati dalam waktu
beberapa minggu, dan setelah 9 bulan akan mengalami kalsifikasi. Sedangkan,
sistiserkus dari spesies lain bisa bertahan hidup sampai beberapa tahun. T.
solium pada babi, sistiserkus bisa ditemukan pada jaringan/otot jantung, hati
dan otak. Pada babi, sistiserkus juga bisa ditemukan pada daging bagian leher,
bahu, lidah, jantung dan otak (KUMAR dan GAUR, 1994). Pada manusia, sistiserkus
ini sering ditemukan di jaringan bawah kulit, otot skeletal, mata dan otak.
Pada kasus yang serius disebabkan oleh adanya sistiserkus pada jaringan otak
bisa menyebabkan neurocysticercosis dan bisa menyebabkan kejang-kejang pada
manusia. Sistiserkus T. saginata pada sapi dan sistiserkus T. ovis pada kambing
ditemukan pada jaringan otot (muscles). Sistiserkus T. asiatica dan sistiserkus
T. taeniaeformis biasanya ditemukan pada hati, sedangkan sistiserkus T.
hydatigena ditemukan dalam peritoneum.
2. Diagnose
Diagnosis
Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid atau
telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk
spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa
ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid
Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan
morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan
proglotidnya (Tabel 2, Gambar 2 dan 3). Untuk diagnosis sistiserkosis sangat
sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan dengan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang sudah
mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara
post mortem dengan melakukan pemeriksaan daging.
3. Pencegahan dan
Pengobatan
Penyakit
sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang
definitif yang menderita Taeniasis. Anjing yang sering berkeliaran dan
bergabung dengan hewan ternak lain harus dihindarkan dan dicegah supaya tidak
memakan bangkai hewan yang terinfeksi Taenia. Selain itu, untuk mencegah
terjadinya infeksi dengan T. solium, T. saginata dan T. asiatica, hewan ternak
dilarang kontak langsung dengan feses manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing
dapat ditekan dengan melarang hewan tersebut memakan hewan pengerat (rodent)
atau induk semang perantara lainnya dan dihindarkan dari memakan daging mentah.
Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari
memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium) maupun
daging sapi (untuk T. saginata). Daging yang terkontaminasi harus dimasak
dahulu dengan suhu di C. Selain itu, dengan membekukan daging°atas
56 terlebih dahulu, dapat mengurangi risiko penularan penyakit. Menurut FLISSER
et al. (1986), daging yang C dapat°direbus dan
dibekukan pada suhu -20 membunuh sistiserkus. Sistiserkus akan mati pada suhu C
akan tetap hidup°C, tetapi pada suhu 0 – 20°-20
selama 2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari (BROWN dan
BELDING, 1964). Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian
obat cacing praziquantel, epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole.
Demikian juga untuk pengobatan Taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing
praziquantel, niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing
dewasa dalam usus. Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan
melakukan tindakan operasi (bedah). Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya
sedikit sekali informasi tentang penggunaan obat cacing terhadap penyakit
sistiserkosis pada hewan. OIE (2008) melaporkan bahwa pengobatan dengan
albendazole dan oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T. saginata dan
T. solium kistanya mengalami degenerasi.
PENUTUP
Untuk
manajemen penyakit cacing kita harus mengetahui terlebih dahulu etiologi,
patofisiologi, gejala klinis, cara penularan, cara pencegahan, dan cara
pengobatan dari cacing yang menginfeksi, karena setiap cacing berbeda-beda.
Maka dari itu gejala yang ditimbulkan berbeda beda sesusai dengan
predileksinya. Dalam jumlah sedikit terkadang tidak menimbulkan gejala,tetapi
dalam jumlah yang sudah cukup banyak dapat menimbukan beberapa gejala bahkan
hingga kematian. Mengetahui hal tersebut dapat memudahkan tindakan yang akan
kita lakukan selanjutnya.
Risky.R., Utami1, A. Nuryati, dan S. Nuryani.2014.
Efektifitas Pemberian Perasan Bawang Putih (Allium Sativum Linn) Dosis Tunggal
Terhadap Jumlah Telur Cacing Gelang (Toxocara Canis) Secara In Vivo. Jurnal
Teknologi Laboraturium 3(2).
Subroto.2006.Penyakit Infeksi dan Mikroba pada Anjing
dan Kucing.Yogyakarta.Press UGM
Soulsbv,E J L.Helmints, Arthropods and Protozoa of
Domesticated Animal.London.Bailliere Tindall
Levine, Norman D. 1994.Buku Pelajaran Parasitologi
Veteriner. Yogyakarta. Press UGM
diakses minggu/ 26
november 2017
http://wijayavet.blogspot.co.id/2011/04/dirofilariasis.html
diakses minggu/ 26
november 2017
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba
Pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Kutipan jurnal :
Tjahajati,Ida.2006.Kasus ankilostomiasis pada pasien
anjing di klinik penyakit dalam,rumah sakit hewan fkh-ugm selama tahun
2005.Yogyakarta.Vol.24,No.1.
BROWN HW, 1975.
Basic Clinical Parasitology.4thEd.Appleton Century Crofts. 185-187.
DHARMAWAN, N.S.
1996. Deteksi sistiserkosis Taenia saginata pada babi dan sapi di Bali dengan
ELISA. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor. 7 – 8
Nopember 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 945 – 950.
GONZALEZ, A.E., C.
GAVIDIA, N. FALCON, T. BERNAL, M. VERASTEQUI, H.H. GARCIA, R.H. GILMAN and
V.C.W. TSANG. 2001. Protection of pigs with cysticercosis from further
infections after treatment with oxfendazole. Am. J. Trop. Med. Hygiene 65: 15 –
18.
Levine ND.1994.
Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press.163-164,480.
OIE. 2005. Taenia
Infection. http://www.cfsph.iastate.edu/ Factsheets/pdf/taenia.pdf. (10 Maret
2009).
Soedarto.2007.Sinopsis
Kedokteran Tropis.Airlangga University Press.75-76.
Soulsby E.J.L.
1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. The
ELBS & Bailliere Tindall. London
URQUHART, E.M., J.
ARMOUR, J.L. DUNCAN, A.M. DUNN and F.W. JENNINGS. 1996. Veterinary
Parasitology. 2nd Edition. Blackwell Science, Ltd. 307 p.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar