BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Banyak
kasus keracunan tanaman pada hewan domestik ditandai dengan fotosensitisasi.
Fotosensitisasi adalah tanda-tanda dari suatu penyakit berupa dermatitis atau
eksim kulit yang pada umumnya menyerang hewan pemakan rumput (herbivore)
seperti sapi, kambing, domba dan kuda . Pada babi juga pernah dilaporkan adanya
kasus fotosensitisasi, tetapi hal ini jarang terjadi. Gejala fotosensitisasi
yang berupa eksim muka (fasial eczema) pada domba di Selandia Baru pertama kali
dilaporkan pada tahun 1882. Sedangkan di Afrika Selatan penyakit
fotosensitisasi yang menyerang hewan telah dilaporkan sejak tahun 1894 (Quin,
1933). Di Indonesia kejadian fotosensitisasi pada sapi Bali telah dijumpai
sejak tahun 1925 (Ressang, 1984). Penyakit ini dikenal dengan nama Bali Ziekte.
Selanjutnya Kusumamihardja (1979) melajporkan kasus yang berupa eksim kulit
(facial eczema) pada domba di Bogor. Demikian juga Ronohardjo (1981) melaporkan
adanya dermatitis simetrika yang menyerang domba di Lombok .
Sampai saat ini penyebab dari fotosensitisasi
yang terjadi di Indonesia masih belum diketahui secara pasti. Walaupun Sobari
(1983) den Dharma dkk. (1982) telah berhasil membuat gejala penyakit yang sama
dengan Bali Ziekte pada sapi Bali yang diberi Lantana camara, tetapi mereka
belum dapat memastikan bahwa lantana adalah penyebab dari Bali Ziekte tersebut
. Hal ini disebabkan oleh beberapa kejadian Bali Ziekte pada sapi Bali terjadi
pada daerah di mana tidak terdapat tanaman Lantana camara. Kesulitan ini karena
fotosensitisasi merupakan gejala-gejala dari suatu penyakit yang disebabkan
oleh berbagai kemungkinan agen penyebab.
Sapi
Bali adalah ras pilihan untuk kegiatan peternakan sapi di daerah dengan
produktivitas pakan hijauan yang rendah (daerah kering), terdapat beberapa
kelemahan yang ditemukan pada sapi Bali, seperti : perlu waktu yang lama untuk
birahi kembali setelah melahirkan, penyakit Jembrana, penyakit Bali ziekte dan
penyakit Coryza. Penyakit Bali ziekte selalu terjadi pada musim kemarau, paling
tidak terjadi selama 9 bulan di daerah-daerah kering seperti NTB, penyakit ini
menunjukkan gejala reaksi hipersensitivitas kulit terhadap sinar matahari
(fotosensitisasi) yang disebabkan oleh konsumsi tanaman yang bersifat meracuni
hati, seperti Lantana camara.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
penyebab terjadinya fotosensitisasi pada bali ziekta?
2.
Bagaimana
patogenesa dari fotosensitisasi pada bali ziekta?
3.
Bagaimana
gejala klinis yang ditimbulkan dari fotosensitisasi pada bali ziekta?
4.
Bagaimana
diagnosis dan diagnosis banding dari fotosensitisasi pada bali ziekta?
5.
Bagaimana
pengobatan fotosensitisasi pada bali ziekta?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui penyebab, patogenesa,
gejalaklinis, diagnosa dan diagnosa banding serta pengobatan yang dilakukan pada
fotosensitisasi pada bali ziekta.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan paper ini adalah
menambah pengetahuan mahasiswa mengenai penyebab, patogenesa, gejala klinis
yang timbul, diagnosis dan diagnosis banding serta cara pengobatan dari fotosensitisasi
pada bali ziekta.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 FOTOSENSITISASI
Banyak kasus keracunan
tanaman pada hewan domestik ditandai dengan fotosensitisasi. Fotosensitisasi
adalah gejala dermatitis dan/atau konjungtivitis dan/atau cutaneous
hyperesthesia yang berkembang pada hewan yang terpapar oleh
cahaya matahari. Fotosensitivitas berarti peningkatan kepekaan terhadap sinar
matahari secara berlebihan yang disebabkan oleh deposisi molekul yang mampu
mengabsorbsi gelombang matahari pada kulit.
2.1.1 Mekanisme Fotosensitisasi
Fotosensitisasi dapat terjadi melalui beberapa cara,
yaitu:
1. Setelah absorpsi
radiasi sinar matahari, molekul sensitisasi mengalami perubahan panjang
gelombang menjadi molekul triplet. Molekul sensitisasi triplet kemudian
berinteraksi dengan molekul lain melalui hidrogen atau proses transfer elektron
untuk menghasilkan radikal bebas yang sangat reaktif. Radikal bebas tersebut
kemudian bereaksi dengan oksigen atau molekul lain, atau melalui transfer
energi secara langsung kepada molekul oksigen yang menghasilkan oksigen tunggal
dan kemudian dapat mengoksidasi substrat yang peka. Proses ini lebih sering
terjadi dan porphyrin merupakan penyebab fotosensitisasi.
2. Penyimpanan
senyawa kimia fotosensitisasi umumnya terjadi pada sel endothelial dari kapiler
dermis dan dalam hal tertentu adalah sel mast dermis. Beberapa senyawa aktif
mungkin berikatan hanya pada membran permukaan kapiler, sedangkan lainnya
diabsorbsi ke dalam sel yang akan menyimpan senyawa aktif tersebut di dalam
lysosomes. Melalui absorbsi cahaya dengan penjang gelombang yang tepat oleh
endothelium kapiler yang terdapat di dalam lapisan luar dermis, maka kerusakan
sel umumnya terjadi melalui pelepasan enzim proteolitik dari lysosomes.
Akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis sel, oklusi
vaskuler dan inflamasi akut. Bila penetrasi pada epidermis oleh radiasi dicegah
baik oleh ketebalan kulit, bulu penutup atau pigementasi seperti kulit hitam,
maka fostosensitisasi tidak akan terjadi.
3. Kadang-kadang
fotosensitisasi harus didiferensiasi dari dermatitis (sunburn) sederhana. Dematitis
sederhana tersebut merupakan reaksi normal kulit yang tidak terlindungi, tidak
berpigmentasi terpapar oleh cahaya matahari, dan disebabkan oleh radiasi
ultraviolet dengan panjang gelombang yang pendek (320 nm).
2.1.2 Klasifikasi
Fotosensitisasi
Seekor hewan menglami
fotosensitisasi biasanya melalui absorpsi senyawaan tertentu yang dimasukan
atau terbentuk di dalam traktus alimentarius. Namun fotosensitisasi yang lebih
luas dapat terjadi melalui absorpsi ke dalam kulit dimana senyawa fotosensitisasi
secara lokal mengandung bahan minyak atau bahan obat gosok. Keberadaan penyakit
metabolik kongenital dan obat penyebab penyakit (drug-induced diseases) dapat
menimbulkan senyawa sensitisasi endogenous yang berlebihan atau abnormal.
Senyawa tersebut dapat berupa porphyrin non-fisiologis seperti uroporphyrin I
(seperti porphyria erythropoietic kongenital pada sapi dan babi), atau jumlah
berlebihan dari tipe III porphyrin alami, termasuk protoporphyrin IX ( seperti
pada obat penyebab gangguan sintesis haem hati).
Fotosensitisasi diklasifikasikan menjadi:
1. Fotosensitisasi primer (Tipe I) – langsung
dari racun tanaman.
2. Fotosesitisasi sekunder atau hepatogenus (Tipe
II) – akibat dari metabolit racun.
3. Fotosensitisasi primer. Beberapa tanaman
mengandung senyawa fluoresen yang berpotensi merangsang pigmen, setelah
absorpsi dari lambung masuk ke dalam aliran darah portal, dan tidak dikeluarkan
secara sempurna oleh hati, tetapi tetap berada di dalam sirkulasi peripferal
dan mencapai kapiler kulit.
Tanaman tersebut meliputi:
1. Fagopyrum esculentum (boekweit, buckweat) –
mengandung pigmen helianthrone.
2. Seledri – mengandung furocoumarin.
3. Phenothiazine – berubah menjadi phenothizine
sulphoxide di dalam rumen, kemudian menjadi phenothiazone di dalam hati.
Fotosensitisasi sekunder
atau hepatogenus. Kebanyakan fotosensitisasi pada hewan domestik bukan
fotosensitisasi primer tetapi bersifat sekunder terhadap kerusakan hati. Banyak
tanaman dapat menimbulkan kerusakan jaringan hati dan sebagai akibatnya fotosensitisasi
merupakan gejala klinis dari keracunan tanaman. Senyawaan fotosensitisasi
tersebut adalah phylloerythrin. Phylloerythrin berasal dari chlorophyll melalui
proses mikroba di dalam saluran pencernaan. Pigmennya merupakan porphyrin
fluorescent. Senyawa ini diserab kedalam darah portal dan dikeluarkan oleh hati
untuk diekskresikan ke dalam empedu, yang merupakan sirkulasi enterohepatik.
Salah satu gambaran kerusakan sel hati adalah ketidak mampuan dalam mengambil
phylloerythrin dari darah sinusoid dan mengeluarkannya ke dalam empedu.
Phylloerythrin yang beredar di dalam darah perifer secara tidak langsung
diekskresikan melalui urin sebagai porphyrin endogenous yang mengandung
berbagai kelompok hydrofilik, dan hal ini juga meningkatkan potensi fotosensitisasinya.
Tanaman-tanaman tersebut adalah:
1. Lantana camara (bunga pagar, tahi ayam, tai
kotok) – mengandung lantadene.
2. Cengkeh
3. Leguminosa
2.1.3 Penyakit
Kulit Akibat Fotosensitisasi
Sapi Bali adalah ras
pilihan untuk kegiatan peternakan sapi di daerah dengan produktivitas pakan
hijauan yang rendah (daerah kering), terdapat beberapa kelemahan yang ditemukan
pada sapi Bali, seperti : perlu waktu yang lama untuk berahi kembali setelah
melahirkan, penyakit Jembrana, penyakit Baliziekte dan penyakit Coryza.
Penyakit Baliziekte selalu terjadi pada musim kemarau, paling tidak terjadi
selama 9 bulan di daerah-daerah kering seperti NTB, penyakit ini menunjukkan
gejala reaksi hipersensitivitas kulit terhadap sinar matahari (fotosensitisasi)
yang disebabkan oleh konsumsi tanaman yang bersifat meracuni hati, seperti
Lantana camara. Medikasi etno-veteriner untuk penyakit ini diperkenalkan oleh
deputy NFM on farming system SPFS Indonesia (Johan Purnama DVM, MSc) untuk
menyelesaikan masalah secara aman dengan ongkos medikasi yang rendah,
menggunakan tanaman herbal dan bahan alami yang ada di sekitar lokasi
2.2 ETIOLOGI
Penyakit Baliziekte
pertama kali ditemukan pada tahun 1925 Subberink dan Le Cultre di beberapa
tempat di Bali, yang kemudian juga ditemukan di sulawesi, Nusa Tenggara Timur
dan Nusa Tenggara Barat. Penyakit Baliziekte biasa ditemukan pada musim kemarau
pada sapi Bali, penyebab penyakit ini adalah suatu reaksi hipersensitivitas
fotosensitisasi yang disebabkan oleh tanaman –tanaman : Lantana camara dan
Medicago sp. Tanaman-tanaman ini sangat mudah tumbuh dan mampu bertahan dalam
situasi kering sehingga terkadang menjadi pilihan makanan oleh ternak sapi yang
dipelihara dengan pola penggembalaan.
Lantana camara mengandung
Lantadene-A yang bersifat meracuni hati (hepatotoksik), sehingga hati akan
melepaskan beberapa zat yang akan menimbulkan reaksi peningkatan kepekaan kulit
terhadap sinar matahari (fotosensitisasi).
2.3 PENYEBAB
TERJADINYA FOTOSENSITISASI
Fotosensitisasi terjadi bila terdapat agen fotodinamik
dalam darah perifer disertai dengan sinar
ultra violet dari sinar matahari yang menimpa kulit terutama
yang kurang terlindung oleh bulu serta
kurang berpigmen. Daerah-daerah tersebut antara lain sekitar
mulut dan
hidung, sekitar
mata dan
telinga, sekitar vulva, dan sekitar sisi bagian dalam dari kaki belakang. Pada daerah ini agen fotodinamik akan menyerap energi sinar
ultra violet, kemudian energi tersebut diteruskan kedalam komponen-komponen
dari
sel disekitarnya. Akibatnya terjadi
kerusakan membran sel dan
pada akhirnya
terjadi kerusakan dari struktur seluler (lvie, 1982). Pada keadaan ini terlihat adanya dermatitis
didaerah kulit tersebut. Pada keadaan yang parah (kronik) terbentuk keropeng dan kadang-kadang kulit yang terluka dapat
terkelupas.
Agen
foto dinamik yang umum adalah phylloerythrin
yang merupakan metabolit normal hasilfer mentasi anaerobik dari chlorophyl didalam rumen. Phylloerythrin ini dengan segera dikeluarkan dari tubuh
melalui empedu dalam
keadaan hewan normal.
Tetapi pada keadaan hewan menderita kerusakan hati dan terjadi pembendungan
pada saluran empedu, maka phylloerythrin tidak dapat dikeluarkan
melalui empedu dan masuk ke peredaran
darah sehingga jumlahnya meningkat dalam
darah termasuk dalam peredaran darah perifer.
Menurut Forddan Gopinath (1976).
kadar
phylloerythrin sebesar 0,1 ug/ml sudah dapat menimbulkan fotosensitisasi
pada hewan. Oisini fotosensitisasi
terjadi didahului dengan terjadinya kerusakan pada organ hati.
Agen foto
dinamik lain seperti hipericin
dan fagopyrin dapat
menimbulkan fotosensitisasi secara langsung tanpa didahului oleh kerusakan hati. Dalam hal iniagenfotodinamik
tersebut dapat be reaksi langsung dengan sinar ultra
violet padada erahkulit
sehingga terjadi kerusakanselataujaring an
kulit tsrsebut.
Menurut Smith (1987).
penyebab timbulny fotosensitisasi dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok:
1. Penyebab langsung atau
fotosensitisasi primer.
Fotosensitisasi primer terjadi oleh karena adanya zat
kimia (agen) fotodinamik yang berasal dari luar
tubuh hewan (misalnya asal
bahan makanan atau obat-obatan) masuk dan beredar dalam tubuh
sehingga sampai daerah perifer. Agen fotodinamik
ini dapat bereaksi langsung
dengan sinar ultra violet dari sinar matahari di bagian
kulit yang kurang berpigmen dan tidak terlindung bulu, sehingga
terjadi kerusakan pada kulit tersebut. Di sini zat
kimia atau
agen foto dinamik tersebut tidak perlu menimbulkan (menyebabkan)
terjadinya kerusakan pada organ hati. Agen (zatkimia) fotodinamik
penyebab langsung ini antara lain:
1.
Asal tanaman
misalnya hypericin (asaltanaman
Hypercumspp)
fagopyrin (asaltanaman Fa-
gopyrumspp.), furocoumarin, dan
lain s ebagainya.
2.
Asal obat-obatan seperti tetracycline,
phenothiazine dan beberapa sufonamida.
2. Penyebab tidak
langsung atau fotosensitisasi sekunder.
Fotosensitisasi sekunder ini disebut juga fotosensitisasi hepatogenous oleh karena
terjadinya fotosensitisasi didahului
atau disertai dengan kerusakan organ hati. Disini
fotosensitisasi terjadi oleh karena
zat kimia (agen penyakit lainnya) yang berasal dari
luar tubuh masuk kedalam tubuh ternak, dan zat atau
agen tersebut menimbulkan gangguan pada foto dinamik berupa phylloerythrin
(asal
Chlorophyl yang secara normal dikeluarkan dari dalam tubuh) menjadi tertimbun dan ikut beredar dalam darah serta mencapai daerah
perifer. Zat tersebut akan menimbulkan
reaksi fototoksisitas pada kulit bila
terkena
sinar matahari. Disini fotosensitisasi
disertai atau didahului oleh adanya kerusakan pada hati. Oleh karena itu disebut juga fotosensitisasi
Aepatogenous. Agen penyebab fotosensitisasi sekunder
ini antara lain:
a.
Asaltanaman misalnya:(1)Tanaman yang mengandung alkaloid pyrrolizidine
seperti Se necio spp., He/iotropium
spp., Crota/ariaspp., dan Eupatorium spp. Tanaman demikian banyak
terdapat di Indonesia. (2)Tanamanyang me nyebabkankerusakanhatilainnya seperti Lantana
camara yang mengandung zat
hepato toksik LantadeneA. Tanaman ini tersebar luas di Indonesia dan telah banyak menyebabkan kematian pada ternak, terutama pada sapi (Sobari,1983).
b. Asal
metabolit cendawan (mikotoksin) seperti sporidesmin yang merupakan metabolit dari kegiatan cendawan Phytomyces chartarum yang hidup saphrophyte pada rumput seperti
Brachiaria spp. Tanaman rumput ini juga banyak terdapat
di
Indonesia . Beberapa kasus fotosensitisasi yang diduga disebabkan oleh jamur atau cendawan ini pernah
dilaporkan di Indonesia (Murdiati dkk., 1984).
c. Asal agen penyakit seperti cacing hati (Fasciola
hepatica) yang menyebabkan terjadinya obstruksi
saluran empedu.
3. Penyebab bawaan.
Fotosensitisasi terjadi olehkarena
adanya kelainan genetik dari ternak sejak lahir. Kelainan tersebut terutama terhadap
metabolisme phorpyrin. Hal ini menyebabkan tingginya kadar phorphyrin (yang bersifat
fototoksik) didalam darah dan daerah perifer sehingga terjadi gejala fotosensitisasi
bila kulit tersebut terkena sinar matahari.
2.4 GEJALA KLINIS
Pada kondisi awal,
sapi yang mengalami penyakit Bali Ziekte mengalami demam, pucat , mata
berlendir, dan hidung mengalami peradangan. Peradangan pada selaput lendir akan
berlanjut menjadi luka-luka dangkal yang tertutup. Kerusakan kulit berupa eksim
akan mengering, kemudian mengelupas menyerupai kerupuk dan akhirnya terlepas
meninggalkan luka.
Terjadinya kerusakan
pada kulit akibat serangan penyakit Bali Ziekte terutama terjadi dibagian tubuh
sapi yang tidak ditumbuhi bulu atau yang bulunya jarang. Kulit sapi yang
sedikit atau tidak berpigmen dan yang terus menerus terkena sinar matahari,
seperti bagian telinga, muka, punggung, perut, paha bagian dalam, scrotum, dan
cermin pantat juga sering mengalami luka- luka. Pada awalnya, luka-luka
tersebut timbul secara simetris, yaitu terjadi pada tubuh bagian kanan dan kiri
pada organ yang sama. Luka yang timbul menyebabkan rasa gatal, sehingga sapi
akan menjilat- jilat bagian yang luka tersebut sehingga semakin meluas. Keadaan
ini akan lebih parah bila sapi terjemur atau kena panas matahari secara
langsung. Sering terjadi infeksi pada bekas luka, sehingga lukanya menjadi
koreng yang mengelurkan cairan bahkan bernanah.
Secara umum tingkat
kematian penyakit ini rendah, kerugian timbul karena laju pertambahan bobot
badan yang sangat rendah. Jika tanaman Lantana camara yang dimakan cukup banyak
serat diikuti infeksi sekunder yang diakibatkan dari efek toksin Lantana camara
maka akan sangat fatal akibatnya sehingga bisa menimbulkan kematian pada Sapi
Bali tersebut. Perkembangan luka atau radang biasanya akan diikuti oleh
timbulnya larva lalat yang bertelur pada luka, keadaan ini akan semakin
memperparah kondisi sapi yang sakit.
2.5 DIAGNOSA
Untuk menentukan diagnosa harus
dicari keterangan tentang makanan/pakan (material) apa yang diberikan kepada
ternak. Perhatikan juga gejala klinisnya yang jelas terlihat adanya eritema
atau dermatitis pada daerah telinga, sekitar mulut, hidung, dan bagian-bagian
lain yang sedikit ditumbuhi bulu-bulu. Ada gejala ikterus pada membran mukosa.
Disamping itu tampak jelas bahwa ternak takut terhadap cahaya/sinar matahari
(Fotopobia) dan berusaha bergerak ke tempat-tempat yang terlindung dari sinar
matahari. Analisis kadar bilirubin dan enzim-enzim hati seperti SGPT, SGOT dan
GDH dalam serum akan dapat membedakan apakah fotosensitisasi tersebut primer
atau sekunder. Kadar bilirubin dan enzimenzim hati yang meningkat menandakan
penyebabnya adalah sekunder
Sumber : Internet
2.6 PATOLOGI
ANATOMI
Dua ekor sapi yang
menunjukan gejala Baliziekte, terlihat kerusakan kulit berupa eksim yang kering
kemudian mengelupas. Luka –luka tersebut muncul secara simetris.
2.7 PENANGGULANGAN DAN PENCEGAHAN
Prinsip penanggulangan
fotosensitisasi adalah dengan menghindarkan agen penyebabnya, yaitu
hepatotoksin (penyebab sekunder) atau agen foto dinamiknya (pada penyebab
primer) . Hal ini dapat dilakukan dengan mencegah hewan kontak lebih lanjut
dengan zat kimia atau agen penyebab tersebut dengan cara memindahkan hewan atau
tidak memberikan bahan makanan yang mengandung zat atau agen penyebabnya kepada
hewan yang menderita fotosensitisasi tersebut .Ternak yang menderita
fotosensitisasi ditempatkan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari .
Di samping itu pada daerah kulit yang mudah terkena fotosensitisasi
(dermatitis) dioleskan krem atau salep yang mengandung serbuk zinc oksida,
terutama pada daerah ambing atau kelenjar susu (Smith, 1987) .
Untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika .Bila penyebab fotosensitisasi
sekunder adalah zat hepatotoksik (sporidesmen) berasal dari metabolit cendawan
Pythomyceschartarum yang tumbuh pada tanaman yang dimakan ternak (misalnya
Brachiaria spp.), maka dapat dilakukan penyemprotan dapat dilakukan dengan menggunakan
benomyl sebanyak 150 gram zat aktif per hektar atau methyl thiophanate dan
thiabendazol sebanyak 140 gram per hektar yang dilarutkan dalam 225 liter air
bersih. Selama 7 hari setelah penyemprotan rumput jangan diberikan kepada
ternak .Cara demikian dapat mencegah berkembangnya cendawan tersebut.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Fotosensitisasi adalah
gejala dermatitis dan/atau konjungtivitis dan/atau cutaneous hyperesthesia yang
berkembang pada hewan yang terpapar oleh cahaya matahari.
Penyebab timbulnya fotosensitisasi dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok: Penyebab langsung atau
fotosensitisasi primer,
Penyebab langsung atau
fotosensitisasi primer,dan
Fotosensitisasi terjadi olehkarena adanya kelainan genetik dari ternak sejak lahir.
Pada kondisi awal, sapi yang mengalami
penyakit Bali Ziekte mengalami demam, pucat , mata berlendir, dan hidung
mengalami peradangan. Peradangan pada selaput lendir akan berlanjut menjadi
luka-luka dangkal yang tertutup.
Untuk menentukan diagnosa
harus dicari keterangan tentang makanan/pakan (material) apa yang diberikan
kepada ternak. Perhatikan juga gejala klinisnya. Prinsip penanggulangan
fotosensitisasi adalah dengan menghindarkan agen penyebabnya
3.2 SARAN
Adapun saran yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca
untuk mengetahui penyebab,
patogenesa, gejala klinis yang timbul, diagnosis dan diagnosis banding serta
cara pengobatan dari fotosensitisasi pada bali ziekta
dengan pasti perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan lebih banyak refrensi
penelitian terbaru mengenai penyakit bali ziekta.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri,
S. 1994. FotosensitisasidanPenanggulangannyapadaTernakRuminansia. Wartazoa 3
(2-4) : 13 – 16.
Ivie, G.Wayne. 1982. J.N.C.1. 69(1): 259-262
Murdiati, T.B., H.
Hamid, J . Van Eys ., A.J . Wilson, P . Zahari, dan D.R. Stoltz. Studi
Pendahuluan Kasus Keracunan Brachiaria Sp. Pro ceedings Pertemuan Ilmiah
Penelitian Ruminansia Kecil . Bogor; 1984.
Smith, B.L.
1987. Photosensitisation of Herbivores in
Australi and New
Zealand.Proceedings No.103. Veterinary
Clinical Toxicology. The University of Sydney, N.S.W. 2006. pp:295-300
Sobari,
1983. Kasus Kematian Sapi Bali
di
Kabupaten Donggala Akibat Keracunan Lantana camara. Hamera Zoa. 71(2): 141-146.
Sismami, Ayu. 2011. Penyakit Kulit Akibat Alergi dan Fotosensitisasi. http://sismami-ayu.blogspot.co.id/2011/10/penyakit-kulit-akibat-alergi- dan.html. Diakses pada 25
April 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar