Selasa, 28 November 2017

MANAJEMEN PENYAKIT CACING PADA ANJING KINTAMANI



PENDAHULUAN
Anjing Kintamani  adalah ras anjing  yang berasal dari daerah pegunungan Kintamani pulau BaliAnjing yang memiliki sifat pemberani ini sudah lama mulai dibiakan sehingga dapat diakui oleh dunia internasional.
Secara fenotipe Anjing Kintamani mudah dikenal, dapat dibandingkan dengan jelas antara Anjing Kintamani dengan anjing-anjing lokal yang ada, ataupun anjing hasil persilangan antara ras yang sama maupun persilangan lainnya.
Standar fenotipe Anjing Kintamani meliputi ciri-ciri umum, sifat-sifat umum, tinggi badan hingga ke gumba, dasar pigmentasikulit, bentuk kepalatelingamatahidunggigi, bentuk leher, bentuk badan, kaki dan ekor mempunyai kesamaan. Perbedaannya pada distribusi warna rambut dan ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1994. Standar ini dipakai sebagai acuan dasar pada setiap kontes anjing dan pameran Anjing Kintamani dan telah mendapat pengakuan PERKIN (Dharma.M.N. Dewa; PudjiRahardjo; Kertayadnya I.G, 1994.).
Mulai banyak orang yang senang memelihara anjing karena anjing adalah hewan yang cerdas, mereka bisa sangat akrab dengan majikannya dan tak banyak orang juga menjadikan anjing sebagai sahabat. Orang-orang sekarang sangat memperhatikan anjing mereka, mulai dari pakannya, tempat tinggalnya, dan juga kesehatannya. Tak jarang orang membawa hewannya ke klinik hewan atau dokter hewan dikala anjing mereka sakit. Penyakit yang kasusnya sering dijumpai adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing, banyak penyakit yang disebabkan oleh parasit satu ini, mulai dari yang ringan sampai yang parah.
Jenis jenis cacing juga bermacam-macam yang menyerang anjing, contohnya saja ancylostoma caninum, toxocara canis, D.immitis. Cacing-cacing ini akan menyebabkan penyakit pada anjing dengan gejala-gejala klinis, yang dimana sangat merugikan anjing. Maka dari itu perlu ada manajemen untuk menangani penyakit-penyakit cacing tersebut.



1.                  Apa itu ancylostomiasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
2.                  Apa itu ascariosis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
3.                  Apa itu dirofilariasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
4.                  Apa itu trichuriasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
5.                  Apa itu taeniasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?
6.                  Apa itu dipylidiasis, dan bagaimana manajemen penyakitnya?


1.                  Untuk mengetahui apa itu ancylostomiasis dan manajemen penyakitnya
2.                  Untuk mengetahui apa itu ascariosis dan manajemen penyakitnya
3.                  Untuk mengetahui apa itu dirofilariasis dan manajemen penyakitnya
4.                  Untuk mengetahui apa itu trichuriasis dan manajemen penyakitnya
5.                  Untuk mengetahui apa itu taeniasis dan manajemen penyakitnya
6.                  Untuk mengetahui apa itu dipylidiasis dan manajemen penyakitnya


PEMBAHASAN


Definisi
yaitu penyakit cacingan oleh cacing tambang (ancylostoma caninum), sering ditemukan di daerah yang lembab. Ancylostomiasis pada anjing : meskipun ada cacingan disebabkan oleh cacing kait dan penyebabnya bukan ancylostoma tetap disebut ancylostomiasis.
Gambar 1. Cacing ancylostoma caninum
Etiologi
Cacing ancylostoma berukuran 10-20 mm dan yang dewasa biasanya ditemukan melekat pada mukosa usus halus anjing. TeLurnya termasuk tipe stongyloid yaitu berdinding tipis, oval, dan bila dikeluarkan dari tubuh biasanya memiliki 2-8 gelembung dalam stadium blastomer. Ukuran cacing dan telur cacing tembang pada anjing dan kucing adalah sebagai berikut :

Spesies
Ukuran cacing dewasa (mm)
Ukuran telur (µ)
Fecundity (epg tinja/cacing ♀)
A. caninum
♂ : 10-12
♀ : 15-18
(56-75) x (34-47)
844
A. braziliense
♂ : 6-8
♀ : 7-10
(75-95) x (41-45)
-
U. stenophala
♂ : 5-8
♀ : 7-12
(63-76) x (32-38)
468
A. tubaeforme
♂ : 9,5-11
♀ : 12-15
(55-75) x (34,4-44,7)
-

Anjing dapat terinfeksi oleh ketiga spesies tersebut, kecuali A. tubaeforme (yang hanya dapat menginfeksi kucing

Gejala Klinis
Bentuk gejala klinis ancylostomiasis dibedakan menjadi :
a.       perakut : terjadi pada anak anjing baru lahir dimana infeksinya melalui colostrum. pada keadaan ini anjing dengan gejala mukosa pucat, diarhe berdarah dan terjadi kematian secara mendadak. Telur cacing belum bisa ditemuka pada feses.
b.      Akut  : terjadi infeksi larva infektif secara tiba-tiba dalam jumlah besar. Beberapa telur ditemukan pada feses tetapi gejala klinis muncul sebelum telur cacing nampak dalam feses.
c.       Khronik :  tanpa gejala klinis yang khas. Diagnosis berdasarkan telur yang ditemukan dalam feses. Terjadi penurunan jumlah erythrocyte, Hb dan PCV.
            Gejala klinis tidak selalu menyertai setiap infeksi dari ancylostoma sp. dan biasanya erat hubungannya aktivitas dan habitat dari parasit yang bersangkutan. Diarhe berdarah yang disertai cairan lendir sebagai akibat adanya cacing pada usus halus disertai infeksi sekender dari bakteri. Dermatitis akibat penetrasi larva pada kulit disertai infeksi sekender. Bila larva berdiam dalam saluran pernafasan dan paru-paru maka timbul gejala sesak nafas sebagai akibat radang saluran pernafasan dan paru-paru. Bila penyakti berlangsung kronis maka induk semang mengalami dehidrasi, lemah, kurus, dan konjungtiva pucat karena anemi.
Cara Penularan
            Cara penularan Ancylostomiasis pada anjing dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1.      Infeksi per. Oral. Larva infektif (Larva stadium 3) dimakan bersama makanan dan minuman.
2.      Infeksi dengan menembus kulit. Larva yang aktif menembus kulit ataupun menembus membrana mukosa mulut dan mencapai pembuluh-pembuluh balik yang kecil kemudian bersama aliran darah menuju jantung dan mengalami migrasi peredaran darah kemudian menuju paru-paru dan disana mengalami pergantian kulit (L4) dan melalui trakea tertelan sampai di usus menjadi dewasa. Cacing dewasa mengkaitkan diri pada mukosa usus halus dan menghisap darah.
3.      Infeksi prenatal. Pada hewan bunting, infeksi prenatal bisa terjadi bila larva memasuki aliran darah hewan bunting dan mencapai foetus. Larva akan tetap tinggal didalam tubuh foetus sampai dilahirkan, kemudian akan berkembang menjadi cacing muda didalam usus halus anjing.
4.      Infeksi laktogenik. Larva stadium 3 ancylostoma yang bersifat dormant didalam otot akan menjadi ineksius pada saat laktasi.

      Patofisiologi
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur tersebut jatuh ke tembat yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak dengan kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus halus; di sini larva berkembang menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi jika larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform
Pencegahan
Pengendalian parasit ini harus diarahkan agar tidak mengurangi tingkat pencemaran lingkungan. Pengobatan individu yang terinfeksi parah adalah salah satu cara untuk mengurangi sumber kontaminasi (satu penelitian memperkirakan bahwa 60% dari total beban cacing berada pada kurang dari 10% populasi). Metode lain yang jelas adalah memperbaiki akses terhadap sanitasi , misalnya toilet, tapi juga meyakinkan orang untuk mempertahankannya dalam keadaan bersih dan fungsional, sehingga membuat mereka kondusif untuk digunakan.

Pengobatan
-          Pyrantel pamoat, diberikan secara oral : 15 mg/kg bb
-          Mebendazole, secara oral : 22 mg/kg bb per hari selama 5 hari
-          Albendazole secara oral : 5 mg/kg bb
-          Ivermectine secara sub kutan 200 ug/kg

Ascariosis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing golongan toxocara yaitu Toxocara canis.
Penularan biasanya melalui telur cacing yang tanpa sengaja tertelan karena telur cacing mencemari tempat makanan dan minuman, kandang dan lain-lain. Penularan juga dapat melalui induk semasa dalam masa kebuntingan, dan pada waktu anak lahir sudah tertular cacingan. Proses penularan pertama kali melalui telur tertelan, kemudian telur menetas dalam perut. Cacing ini berusaha menembus dinding usus lalu masuk ke dalam saluran darah dan mengikuti aliran darah sampai di hati. Di hati cacing ini berusaha menembus hati dan berusaha mencapai paru-paru, melalui aliran darah paru-paru memecah pembuluh darah kapiler kemudian masuk sampai ke kantung udara paru-paru. Cacing ini terus melanjutkan perjalanannya ke saluran pernafasan atas mencapai kerongkongan dan akhirnya tertelan kembali masuk ke perut dan menjadi dewasa di dalam usus. Dalam usus cacing ini berkembang biak dan juga menimbulkan gangguan pada usus. Parah tidaknya gangguan penyakit tersebut tergantung dari banyak tidaknya cacing yang terdapat dalam usus tersebut. Makin banyak cacing dalam perut makin parah gangguannya. Toxocariasis selain dapat menginfeksi anjing juga dapat menginfeksi manusia, berdasarkan gejala klinisnya pada manusia dapat diklasifikasikan menjadi visceral larva migrans adanya migrasi larva dalam organ dan ocular larva migrans karena adanya migrasi larva pada mata.
Pada anak anjing mula-mula terlihat gejala perut membesar meskipun tidak banyak makan, anjing terlihat kurang enak pada bagian perutnya, merengek-rengek, dan pada waktu berdiri posisi kaki belakang agak melebar untuk menahan rasa sakit pada bagian perutnya. Anjing tampak anemia, lemah, gelisah, anak anjing tidak mau menyusui induknya, bulu kusam, mata berair, nafas terengah-engah,            sesak nafas, kadang-kadang diikuti dengan mencret dan muntah-muntah. Kematian anak anjing biasanya dipercepat dengan adanya infeksi sekunder sehingga terjadi radang paru-paru (pneumonia). Pada anjing dewasa hanya terjadi gejala ringan yaitu pertumbuhan terhambat, bulu kusam dan berdiri, mata berair, lesu, nafsu makan turun. Apabila anak-anak anjing yang masih menyusu satu per satu mati tanpa menunjukkan gejala klinis, kecuali perut agak besar dan lemas harus curiga kematiannya disebabkan oleh cacing Toxocara ini.
Diagnosis ascariosis pada anjing dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien atau ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung, atau mulut.
Pengobatan ascariosis pada anjing dapat digunakan obat-obat seperti piperasin, pirantel pamoat, mebendazol, albendazol. Garam piperazin sangat efektif terhadap Ascariosis dan dapat dipakai dengan aman. Dosis tunggal akan menyembuhkan 75 sampai 85 % dari semua infeksi. Pengobatan dua hari beturut-turut akan menyembuhkan kira-kira 95 % dari semua infeksi. Piperazin dapat diberikan sewaktu-waktu, karena makanan di dalam usus sedikit atau sama sekali tidak mempengaruhi efeknya terhadap Ascaris. Piperazin mempengaruhi potensial ”transmembran” dari otot Ascaris dan melemaskannya untuk sementara. Cacing itu langsung kehilangan keinginannya untuk bergerak ke atas dan menekan pada dinding hospes untuk mempertahankan tempatnya. Pergerakan peristaltik usus mengeluarkan cacing di waktu sedang lemas. Sirup piperazin sitrat telah di pakai dengan hasil baik pada penyumbatan sebagian usus, yang di sebabkan oleh Ascariosis, dikombinasi dengan pengurangan tekanan perut dengan tabung Levine dan pengobatan tambahan.

Infeksi cacing jantung (dirofilariasis) disebabkan oleh D. immitis, terutama terjadi pada anggota famili Canidae, telah tersebar luas di daerah tropis, subtropis, dan daerah beriklim sedang (Aranda, et al., 1998; Cringoli, et al., 2001; Fan, et al., 2001; Song, et al., 2003; Atkins, 2005). D. immitis merupakan parasit filaria yang paling penting pada anjing (Reifur, et al., 2004).
               
 Gambar 2. Cacing jantung (D. immitis) pada arteri pulmonalis anjing (Nelson, et al., 2005)

Apabila infeksi cacing jantung berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan patologik, kondisi demikian disebut dengan penyakit cacing jantung. Penyakit tersebut sangat bervariasi dari asimptomatik sampai parah, bahkan dapat mengancam kehidupan 5 Dirofilariasis inangnya karena menimbulkan penyakit kronis pada arteri pulmonalis, paru-paru, dan jantung (Atkins, 2005).


Epidemiologi
            Cacing jantung pada anjing telah diketahui terjadi di Amerika lebih dari 150 tahun yang lalu (1847), dan kasus pertama pada kucing dilaporkan pada tahun 1921 (Labarthe dan Guerrero, 2005). Studi epidemiologi mengindikasikan bahwa pada daerah endemis dirofilariasis pada anjing, maka kucing berisiko tertular (Kramer dan Genchi, 2002). Liu, et al. (2005) menyatakan bahwa secara umum, anjing dapat terinfeksi dengan mudah sedangkan kucing tidak mudah terinfeksi. Tetapi tidak seperti pada anjing, dua cacing dewasa saja pada kucing sudah dapat mengakibatkan pembesaran jantung dan gangguan respirasi yang parah. Selain anjing dan kucing, hewan yang dapat terinfeksi D. immitis adalah serigala, rubah, coyote, ferret, tikus air, singa laut, coatimundi (Atkins, 2005), macan tutul salju (Murata, et al., 2003), penguin (Sano, et al., 2005), berang-berang (Wang, et al., 2008), oncilla (Filoni, et al., 2009), orangutan (Duran-Struuck, et al., 2005), dan bahkan juga manusia (Atkins, 2005; Liu, et al., 2005; Cruz-Chan, et al., 2009; Genchi, et al., 2009). Prevalensi dan distribusi geografik infeksi D. immitis telah dilaporkan di berbagai negara. Tabel 1. berikut ini menyajikan data 6 Dirofilariasis prevalensi infeks D. immitis pada anjing dan kucing di beberapa negara.
Siklus hidup
Siklus Hidup Siklus hidup D. immitis terjadi dalam dua fase; fase pertama terjadi pada nyamuk dan fase kedua terjadi pada induk semang definitif (Thanchomnang, et al., 2009). D. immitis ditularkan oleh lebih dari 60 spesies nyamuk (Atkins, 2005; Svobodova, et al., 2005), tetapi jumlah nyamuk yang penting sebagai vektor kurang dari 12 spesies (Atkins, 2005). Cacing dewasa (L5) hidup pada arteri pulmonalis dan ventrikel kanan. Setelah kawin, cacing betina dewasa menghasilkan mikrofilaria (L1) yang dilepas memasuki sistem sirkulasi (Atkins, 2005; Svobodova, et al., 2005; Cruz-Chan, et al., 2009; Genchi, et al., 2009). Apabila anjing digigit oleh nyamuk, mikrofilaria (L1) dapat terhisap. Pada tubulus malpigi nyamuk betina L1 mengalami dua kali moulting (L1 menjadi L2 8 Dirofilariasis menjadi L3). Proses tersebut berlangsung selama 8 - 17 hari. L3 bersifat infektif dan apabila nyamuk yang mengandung L3 menggigit hewan peka, L3 dapat berpindah ke hewan peka tersebut (Atkins, 2005; Bowman, et al., 2009).
                       
                          Gambar 3. Siklus hidp D.immitis pada anjing ( Atkins, 2015)
Setelah terjadi infeksi pada hewan peka, terjadi moulting di daerah subkutan, jaringan lemak, dan jaringan otot skeletal, dengan moulting akhir menghasilkan L5. Proses moulting dari L3 menjadi L4 kemudian menjadi L5 berlangsung selama 50 – 68 hari setelah terjadi infeksi. Cacing imatur (panjang 1 – 2 cm) tersebut memasuki sistem 9 Dirofilariasis vaskular, kemudian bermigrasi ke jantung dan arteri pulmonalis dimana cacing mengalami pendewasaan. Cacing jantan dewasa mempunyai ukuran panjang 15 – 18 cm dan yang betina berukuran 25 – 30 cm. Pada kondisi optimum, siklus hidup cacing jantung berlangsung selama 184 – 210 hari. Periode prepatent cacing jantung adalah 6 – 7 bulan (Yildiz, et al., 2008). Cacing dewasa pada anjing dapat bertahan hidup sampai 5 tahun dan mikrofilaria sampai 30 bulan (Atkins, 2005). Larva (L5) cacing D. immitis pada anjing secara tidak normal dapat bermigrasi ke organ lain, seperti otak, sumsum tulang belakang, ruang epidural, ruang mata bagian anterior, dan rongga peritoneal (Oh, et al., 2008), aorta, hati (Goggin, et al., 1997), cairan sinovial (Hodges dan Rishniw, 2008), dan kadang-kadang ditemukan pada vena kava
Patofisiologi
            Infeksi D. immitis ditandai oleh beberapa gambaran klinis yang disebabkan oleh cacing dewasa dan mikrofilaria (L1). Mikrofilaria mimiliki peran yang relatif kecil dalam patogenik, tetapi dapat menyebabkan pneumonitis dan glomerulonefritis yang signifikan secara klinik (Grandi, et al., 2007). Cacing jantung dewasa hidup pada arteri pulmonalis, dan pada jumlah yang lebih sedikit pada infeksi berat juga hidup pada atrium 10 Dirofilariasis kanan. Aspek klinis utama yang ditimbulkan merupakan manifestasi kerusakan pada arteri pulmonalis (Atkins, 2005; Grandi, et al., 2007). Kebanyakan anjing yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala penyakit untuk jangka waktu lama, bulan atau tahun, tergantung pada jumlah cacing, interaksi inang-parasit, dan latihan yang diterima oleh anjing (Atkins, 2005; Venco, 2007). Efek utama pada arteri pulmonalis berupa inflamasi, hipertensi pulmoner, gangguan keutuhan pembuluh arteri, dan fibrosis. Hal tersebut dapat diperparah oleh obstruksi arteri dan vasokonstriksi yang disebabkan oleh tromboemboli karena cacing yang telah mati dan produknya. Pembuluh darah pada lobus paru-paru bagian kaudal juga terkena imbasnya. Substansi vasoaktif yang dihasilkan oleh cacing jantung mengakibatkan vasokontriksi pulmoner. Ventrikel kanan mendapat tekanan yang berlebihan karena adanya beban tambahan berupa cacing. Hipertrofi merupakan kompensasi pertama yang terjadi, dan pada infeksi yang parah akhirnya akan terjadi dekompensasi (gagal jantung kanan) (Atkins, 2005). Cacing jantung juga dapat menimbulkan penyakit karena penyimpangan migrasi. Penyimpangan migrasi tersebut mengakibatkan timbulnya manifestasi klinis yang tidak normal karena cacing dapat ditemukan di otak, sumsum tulang belakang, ruang epidural, ruang mata bagian anterior, dan rongga peritoneal (Oh, et al., 2008), aorta, 11 Dirofilariasis hati (Goggin, et al., 1997), cairan sinovial (Hodges dan Rishniw, 2008), dan kadang-kadang ditemukan pada vena kava (Yildiz, et al., 2008).  (Yildiz, et al., 2008).
Gejala Klinis
            Sejumlah cacing D. immitis yang menginfeksi anjing dengan ukuran yang relatif besar (cacing betina dengan panjang 25 – 35 cm) dapat mengakibatkan gangguan sirkulasi yang bersifat kronis dan akhirnya mengakibatkan gagal jantung (Boonyapakorn, et al., 2008). Menurut Cruz-Chan, et al. (2009) gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi D. immitis mulai gejala yang ringan berupa keletihan karena hewan diberikan latihan sampai pada gagal jantung kongestif yang bersifat fatal. Atkins (2005) menyatakan bahwa kebanyakan kasus infeksi cacing jantung adalah asimptomatik. Sejarah penyakit anjing penderita sangat bervariasi, di antaranya kehilangan berat badan, toleransi terhadap latihan menurun, letargi, batuk, dispnea, sinkop, dan distensi abdominal (ascites). Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya suara jantung kedua berganda, suara murmur pada jantung kanan, cardiac gallop, batuk, dispnea, dan sianosis. Bila pada anjing terdapat 10 - 25 cacing dewasa dan anjing hanya mendapat latihan ringan, tidak akan menunjukkan gejala klinis. Tetapi bila jumlah cacing mencapai 50 - 100 akan menunjukkan gejala sedang sampai parah. Fan, et al. (2001) dan Yildirim, et al. (2007) 12 Dirofilariasis menyatakan bahwa D. immitis dapat menyebabkan edema, asthma, gagal jantung, dan bahkan kematian pada anjing penderita. Cacing dewasa dapat mengakibatkan endokarditis, kelainan pada katup jantung, gangguan sirkulasi, dan hipertensi. Hipertrofi jantung, kongesti hati, sirosis, dan ascites merupakan simptom dari infeksi cacing jantung pada anjing (Yildiz, et al., 2008). Kamiie, et al. (2000) menyatakan bahwa glomerulonefritis disertai proteinuria dapat terjadi pada anjing yang terinfeksi D. immitis.
                      
             Gambar 4. Anjing penderita Dirofilariasis dengan gejala ascites ( Atkins, 2015 )
Gejala klinis pada manusia dapat berupa batuk, hipersensitivitas, dan lesi pulmoner. Lesi pulmoner tersebut dengan pemeriksaan menggunakan X-ray dan pemeriksaan sitologi sering mengakibatkan kesalahan diagnosis dianggap sebagai tuberkulosis atau kanker paruparu (Fan, et al., 2001; Boonyapakorn, et al., 2005).
Diagnosis
Penyakit cacing jantung dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik pada ulas darah dan metode konsentrasi untuk mengetahui ada tidaknya mikrofilaria, tes antigen dan antibodi, serta teknik molekuler. Metode mikroskopik dan konsentrasi memiliki sensitifitas yang rendah karena adanya infeksi yang samar (infeksi tanpa mikrofilaria), sedangkan tes antibodi spesifisitasnya sangat rendah (Vezzani, et al, 2008). Selama 10 - 15 tahun terakhir, perhatian dialihkan dari pemeriksaan rutin untuk menemukan mikrofilaria pada darah ke pemeriksaan serologis untuk pemeriksaan antigen terhadap D. immitis (Datz, 2003). Adanya mikrofilaria pada darah perifer pada anjing digunakan sebagai indikator terjadinya infeksi cacing jantung (Appleton dan Arlian, 1979). Tetapi pada infeksi cacing jantung yang samar (anjing terinfeksi tanpa mikrofilaria) menyebabkan hasil negatif palsu, apabila test mikrofilaria tidak dikombinasikan dengan test antigen (Reifur, et al., 2004). Metode PCR sangat sensitif dan akurat untuk membedakan spesies mikrofilaria yang menginfeksi anjing (Rishniw, et al., 2006; Vezzani, et al, 2008; Thanchomnang, et al., 2009)). Kelainan hematologi dan kimia klinik, walaupun penggunaannya sangat terbatas dalam membuat diagnosis dirofilariasis, sering sangat 14 Dirofilariasis bermanfaat dalam memberikan bukti pendukung dan untuk mengevaluasi proses penyakit (Atkins, 2005).
Pencegahan dan Pengobatan
Infeksi cacing jantung sangat melemahkan kondisi hewan penderita dan bahkan mematikan. Pengobatannya sangat mahal dan sulit dilakukan (Talukder, et al., 2007). Karena itu, pencegahan infeksi perlu diprioritaskan. Sejumlah obat tersedia untuk pencegahan infeksi cacing jantung. Macrocyclic lactone (ivermectin, milbemycin oxime, moxidectin, dan selamectin) merupakan obat pilihan yang aman dan efektif. Obat tersebut memotong perkembangan larva cacing dua bulan setelah infeksi, sehingga sangat manjur sebagai obat untuk mencegah penyakit cacing jantung (McTier, et al., 200; Venco, et al., 2004; McCall, 2005; Atkins, 2005; Lok, et al., 2005). Nelson, et al. (2005) menyatakan bahwa obat-obat tersebut juga mempunyai aktivitas antelmintik terhadap mikrofilaria. Pengobatan terhadap infeksi cacing jantung sangat sulit. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan, termasuk pilihan untuk tidak melakukan pengobatan sama sekali. Konsep penting untuk disadari adalah bahwa pengobatan infeksi cacing jantung tidak sederhana dan juga tidak aman. Sebelum pengobatan dilakukan, hewan penderita 15 Dirofilariasis harus dinilai terhadap risiko kemungkinan terjadinya tromboembolisme setelah pengobatan (Venco, 2007). Pengobatan terhadap penyakit cacing jantung dilakukan dengan membunuh cacing dewasa. Obat yang efektif membunuh cacing dewasa adalah melarsomine dihydrochloride. Setelah pemberian obat melarsomine dihydrochloride aktivitas anjing harus sangat dibatasi selama 4 - 6 minggu untuk memperkecil komplikasi kardiopulmoner (Nelson, et al., 2005; Venco, 2007; Kahn dan Line, 2008). Pemberian ivermectin setiap bulan secara berkesinambungan pada dosis profilaktik dilaporkan efektif terhadap larva prekardiak dan cacing muda (<7 bulan setelah infeksi). Tetapi efek terhadap cacing dewasa membutuhkan waktu pemberian lebih dari satu tahun, bahkan dapat lebih dari dua tahun untuk mengeliminasi cacing dewasa secara sempurna. Karena itu, pemberian ivermectin jangka panjang secara berkesinambungan bukan merupakan pengganti obat cacing dewasa (Nelson, et al., 2005).
Trichuris adalah salah satu jenis cacing cambuk. Bentuk cacing ini seperti cambuk kereta dimana salah satu ujungnya tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis. Cacing trichuris dimasukkan ke dalam kelas Adenophorasida. Mereka tidak memiliki saluran ekskresi maupun famida dan esofagus. Anusnya terminal maupun subterminal. Ujung posterior cacing jantan bergulung ke dorsal dalam bentuk spiral. Terdapat spikulum tunggal dikelilingi oleh sebuah selubung yang memiliki kemiripan preputium yang mengalami evaginasi bila spikulum ditonjolkan. Ujung posterior cacing betina sedikit melengkung. Vulvanya dekat dengan batas antara bagian posterior dan anterior tubuh. Telurnya memiliki kulit yang tebal berwarna kecoklatan dengan sumbat dikedua ujungnya dan belum bersegmen ketika dikeluarkan. Terdapat sekitar 70 jenis pada mamalia.
Parasit pada usus besar yang menyerang anjing adalah Trichuris Vulpis biasanya berada di dalam caecum dan kadang berada di kolon. Cacing jantan dan betina memiliki panjang 45 – 75 mm dengan cacing jantan memiliki spikulum 7,6 – 11 mm. Dengan telur berukuran 72 – 90 x 32-40 mikron.  Epidemiologi T. Vulpis hampir mirip dengan T. Suis yang ada pada babi. T. Vulpis tidak memiliki induk semang antara, jadi anjing akan terinfeksi setelah memakan telur cacing berembrio yang mengandung larva stadium II. Telur tersebut sangat resisten terhadap terhadap keadaan lingkungan dan dapat bertahun-tahun hidup di dalam tanah.
Perkembangan di dalam induk semang definitif berlangsung di dalam lumen usus halus. Dan masa prepaten sebelum telur muncul dalam feses adalah 2 – 3 bulan. Cacing T. Vulpis ditemukan menempel pada selaput lendir usus dengan ujung depannya seperti sebuah jarum di sehelai kain.. Kebanyakan infeksi bersifat ringan dan menyebabkan kerusakan yang kecil. Tetapi pada infeksi yang berat cacing cambuk dapat menyebabkan kegelisahan, kehilangan berat badan, diare hingga diare berdarah, anemia, colitis dan bahkan anjing bisa mati.
Cacing T. Vulpis dapat didiagnosis dengan menemukan telur cacing di dalam feses dan juga dengan menemukan cacing itu sendiri ketika melakukan nekropsi.
Kebersihan merupakan kunci terhadap pengendalian adanya infeksi dari cacing T. Vulpis. Dengan melakukan sanitasi kandang yang digunakan dengan desinfektan dapat mencegah terjadinya infeksi. Keadaan kandang yang kering juga di sarankan, karena perkembangan telur cacing sangat optimal pada suhu 6oC – 20oC.  Pengobatan pada anjing yang terinfeksi cacing T. Vulpis dapat melibatkan banyak obat-obatan pada dosis tertentu dan diulang setiap 3 bulan karena dalam jangka waktu tersebut cacing akan berubah manjadi cacing dewasa. Obat yang biasanya digunakan antara lain:
1.                  Milbemycin dosis 5,5 mg/kg diulang setiap bulan
2.                  Fenbendazole dosis 50 mg/kg diberikan selama 3 hari berturut – turut
3.                  Dichlophos dosis 27 – 34 mg/kg diberikan sekali
4.                  Mebendazole dosis 10 mg/kg diberikan 2 kali sehari selama 5 hari
5.                  Dipthafyne dosis 25 – 50 mg/kg diberikan sekali
6.                  Pyrantel pamoat 100 mg plus oxantel pamoat 380 mg à canex plus, dosis 200 mg/kg atau 1/7 tablet diberikan sekali 1 tablet untuk 7 kg BB
7.                  N-butyl Chloride dosis 0,1 – 10 ml/kg diberikan setiap jam selama 5 jam degan hasil berkisar 0 – 100%
8.                  Phthalofyne atau whipcide bisa diberikan secara oral dengan dosis 100 – 200 mg/kg atau IV dosis 250-300 ml/kg. Dengan IV kadang menimbulkan depresi ataxia yang bersifat sementara.
9.                  Glycobiarsol pada dosis tunggal 1000 mg/kg atau 200 mg/kg selama 5 – 10 hari  
 
Gambar  5. Telur Trichuris
                Gambar 6. Cacing Trichuris

1.                                          Etiologi
Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita pada anjing yang disebabkan oleh Dipylidium caninum.  Selain anjing, hospes definitif lainnya adalah kucing dan karnivora liar. Sebagai intermediate hostnya (hospes perantara) adalah flea (pinjal) anjing (Ctenocephalides canis) , pinjal kucing (Ctenocephalides felis). Selain itu Pulex irritansdan kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) juga diduga sebagai intermediate host (Levine ND,1994). Cacing ini dikenal juga dengan nama lain flea tapeworm, double-pored tapeworm, cucumber seed tapeworm atau common dog tapeworm. Cacing pita ini termasuk kedalam kelas subkelas cestoda, kelas cestoidea, filum platyhelminthes, genus dipylidiidae, spesies diiphilidium caninum.

Klasifikasi taksonomi cacing dipylidium caninum:
Kingdom         : Animalia
Phylum            : Platyhelminthes
Class                : Cestoda
Order               : Cyclophyllidea
Family             : Dipylidiidae
Genus              : Dipylidium
Species            : D. caninum
2.                                          Morfologi dan siklus hidup :
Cacing dewasa dari Dipylidium caninum yang predeleksinya pada usus halus ini panjangnya berkisar antara 15 sampai 70 cm dan mempunyai sekitar 60 sampai 175 proglottid.  Scolex cacing ini berbentuk belah ketupat (rhomboidal) dan mempunyai 4 buah sucker yang menonjol dan berbentuk oval. Sucker dilengkapi dengan rostellum yang retraktil dan berbentuk kerucut serta dilengkapi dengan sekitar 30 sampai 150 kait (hook) berbentuk duri mawar yang tersusun melengkung transversal. Proglottid mature berbentuk seperti vas bunga dan Tiap segmennya mempunyai 2 perangkat alat reproduksi serta 1 lubang kelamin di tengah –tengah sisi lateralnya. Proglottid gravid penuh berisi telur yang berada di dalam kapsul / selubung (kantung). Tiap kantung berisi sekitar 15 sampai 25 telur. Fenomena inilah yang disebut sebagai eggball. Tiap butir telur berdiameter sekitar 35 sampai 60 µ dan berisi oncosphere yang mempunyai 6 kait. Proglottid gravid dapat terpisah dari strobila satu demi satu atau berkelompok  2 sampai 3 segmen. Segmen – segmen tersebut dapat bergerak aktif beberapa inci per jam dan keluar melewati anus atau bersama feces.
Pinjal (flea) dari anjing (Ctenocephalides canis) dan kucing ( Ctenocehalides felis) atau kutu / tuma anjing (Trichodectes canis) merupakan intermediate host ( hospes perantara ) dari Dipylidium caninum ini. Apabila telur Dipylidium caninum tertelan oleh larva dari hospes perantara, maka oncosphere akan keluar dari telur dan menembus dinding usus hospes perantara dan selanjutnya akan berkembang menjadi larva infektif yang disebut larva cysticercoid. Apabila hospes perantara yang mengandung larva cysticercoid tersebut tertelan oleh hospes definitive, maka larva cysticercoid akan menembus keluar dan masuk ke dalam usus halus hospes definitive serta tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa setelah kurun waktu sekitar 20 hari. ( Soulsby,1982 ; Brown,1975) 
3.             Patogenesis  dan Gejala Klinis
Pada anjing atau kucing yang terinfeksi ringan tidak terlihat gejala yang jelas, hanya tampak gelisah dan menggosok – gosokkan anusnya ke tanah. Pada infeksi berat terlihat diare , konstipasi dan obstruksi usus (Soulsby, 1982).
Selain menyebabkan rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut akan menyebabkan penderita menggosok gosokan bagian rektalnya di tanah. Penderita dengan infeksi berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan berat badan yang menurun (Soedarto, 2007).
4.                                          Pemeriksaan laboratorium
 Dengan ditemukan proglotid di feses ataupun dengan identifikasi telur cacing dengan pemeriksaan mikroskopis.
5.                                          Diagnose
Berdasarkan anamnesa dari pemilik hewan, serta gejala klinis yang tampak dapat diprediksi kemungkinan menderita dipylidiasis. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama feces. Kadang – kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita.
6.                  Pencegahan dan Pengobatan
Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara hewan yang terinfeksi dengan hewan yang seha. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida ( Soedarto,2007) .
Pada anjing dan kucing anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide, arecolineacetasol, Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982).

1. Cara Penularan Dan Siklus Hidup Cacing Taenia spp.
Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu induk semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginata dan babi untuk T. solium). T. saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia ke manusia, akan tetapi untuk T. solium dimungkinkan bisa ditularkan secara langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain. Siklus hidup cacing T. saginata dapat dilihat pada Gambar 1. Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi onkoster (telur yang mengandung larva). Larva onkoster menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi. Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas. Siklus hidup T. solium pada dasarnya sama dengan siklus hidup T. saginata, akan tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan manusia akan terinfeksi apabila memakan daging babi yang mengandung kista dan kurang matang/tidak sempurna memasaknya atau tertelan telur cacing. T. saginata menjadi dewasa dalam waktu10 – 12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 – 12 minggu (OIE, 2005). Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidak tergantung suhu dan kelembaban) sampai beberapa minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan. Proglotid T. saginata biasanya lebih aktif (motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari feses menuju ke rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan atau pada rumput selama beberapa minggu/bulan. Pada hewan, Taeniasis disebabkan oleh T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Ini terjadi karena hewan memakan daging dari induk semang perantara termasuk ruminansia, kelinci dan tikus. Pada sapi (C. bovis) mulai mati dalam waktu beberapa minggu, dan setelah 9 bulan akan mengalami kalsifikasi. Sedangkan, sistiserkus dari spesies lain bisa bertahan hidup sampai beberapa tahun. T. solium pada babi, sistiserkus bisa ditemukan pada jaringan/otot jantung, hati dan otak. Pada babi, sistiserkus juga bisa ditemukan pada daging bagian leher, bahu, lidah, jantung dan otak (KUMAR dan GAUR, 1994). Pada manusia, sistiserkus ini sering ditemukan di jaringan bawah kulit, otot skeletal, mata dan otak. Pada kasus yang serius disebabkan oleh adanya sistiserkus pada jaringan otak bisa menyebabkan neurocysticercosis dan bisa menyebabkan kejang-kejang pada manusia. Sistiserkus T. saginata pada sapi dan sistiserkus T. ovis pada kambing ditemukan pada jaringan otot (muscles). Sistiserkus T. asiatica dan sistiserkus T. taeniaeformis biasanya ditemukan pada hati, sedangkan sistiserkus T. hydatigena ditemukan dalam peritoneum.
2. Diagnose
Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya (Tabel 2, Gambar 2 dan 3). Untuk diagnosis sistiserkosis sangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara post mortem dengan melakukan pemeriksaan daging.
3. Pencegahan dan Pengobatan
Penyakit sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang definitif yang menderita Taeniasis. Anjing yang sering berkeliaran dan bergabung dengan hewan ternak lain harus dihindarkan dan dicegah supaya tidak memakan bangkai hewan yang terinfeksi Taenia. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi dengan T. solium, T. saginata dan T. asiatica, hewan ternak dilarang kontak langsung dengan feses manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing dapat ditekan dengan melarang hewan tersebut memakan hewan pengerat (rodent) atau induk semang perantara lainnya dan dihindarkan dari memakan daging mentah. Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium) maupun daging sapi (untuk T. saginata). Daging yang terkontaminasi harus dimasak dahulu dengan suhu di C. Selain itu, dengan membekukan daging°atas 56 terlebih dahulu, dapat mengurangi risiko penularan penyakit. Menurut FLISSER et al. (1986), daging yang C dapat°direbus dan dibekukan pada suhu -20 membunuh sistiserkus. Sistiserkus akan mati pada suhu C akan tetap hidup°C, tetapi pada suhu 0 – 20°-20 selama 2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari (BROWN dan BELDING, 1964). Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat cacing praziquantel, epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole. Demikian juga untuk pengobatan Taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel, niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa dalam usus. Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan tindakan operasi (bedah). Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali informasi tentang penggunaan obat cacing terhadap penyakit sistiserkosis pada hewan. OIE (2008) melaporkan bahwa pengobatan dengan albendazole dan oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T. saginata dan T. solium kistanya mengalami degenerasi.

PENUTUP


            Untuk manajemen penyakit cacing kita harus mengetahui terlebih dahulu etiologi, patofisiologi, gejala klinis, cara penularan, cara pencegahan, dan cara pengobatan dari cacing yang menginfeksi, karena setiap cacing berbeda-beda. Maka dari itu gejala yang ditimbulkan berbeda beda sesusai dengan predileksinya. Dalam jumlah sedikit terkadang tidak menimbulkan gejala,tetapi dalam jumlah yang sudah cukup banyak dapat menimbukan beberapa gejala bahkan hingga kematian. Mengetahui hal tersebut dapat memudahkan tindakan yang akan kita lakukan selanjutnya.


Risky.R., Utami1, A. Nuryati, dan S. Nuryani.2014. Efektifitas Pemberian Perasan Bawang Putih (Allium Sativum Linn) Dosis Tunggal Terhadap Jumlah Telur Cacing Gelang (Toxocara Canis) Secara In Vivo. Jurnal Teknologi Laboraturium 3(2).
Subroto.2006.Penyakit Infeksi dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.Yogyakarta.Press UGM
Soulsbv,E J L.Helmints, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal.London.Bailliere Tindall
Levine, Norman D. 1994.Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta. Press UGM
diakses minggu/ 26 november 2017
http://wijayavet.blogspot.co.id/2011/04/dirofilariasis.html
diakses minggu/ 26 november 2017
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Kutipan jurnal :
Tjahajati,Ida.2006.Kasus ankilostomiasis pada pasien anjing di klinik penyakit dalam,rumah sakit hewan fkh-ugm selama tahun 2005.Yogyakarta.Vol.24,No.1.
BROWN HW, 1975. Basic Clinical Parasitology.4thEd.Appleton Century Crofts. 185-187.
DHARMAWAN, N.S. 1996. Deteksi sistiserkosis Taenia saginata pada babi dan sapi di Bali dengan ELISA. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor. 7 – 8 Nopember 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 945 – 950.
GONZALEZ, A.E., C. GAVIDIA, N. FALCON, T. BERNAL, M. VERASTEQUI, H.H. GARCIA, R.H. GILMAN and V.C.W. TSANG. 2001. Protection of pigs with cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am. J. Trop. Med. Hygiene 65: 15 – 18.
Levine ND.1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press.163-164,480.
OIE. 2005. Taenia Infection. http://www.cfsph.iastate.edu/ Factsheets/pdf/taenia.pdf. (10 Maret 2009).
Soedarto.2007.Sinopsis Kedokteran Tropis.Airlangga University Press.75-76.
Soulsby E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. The ELBS & Bailliere Tindall. London
URQUHART, E.M., J. ARMOUR, J.L. DUNCAN, A.M. DUNN and F.W. JENNINGS. 1996. Veterinary Parasitology. 2nd Edition. Blackwell Science, Ltd. 307 p.



PREMEDIKASI DAN ANESTESI VETERINER

RINGKASAN Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasi...